Jakarta, CNN Indonesia -- Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai pihak Syafruddin Arsyad Temenggung, terdakwa kasus korupsi
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), keliru memahami surat dakwaan. Perbuatan terdakwa tetap merupakan pidana karena ada rangkaian upaya menghapuskan kewajiban pengemplang BLBI.
"Penasihat Hukum Terdakwa telah keliru dalam memahami surat dakwaan dan hanya membaca surat dakwaan secara parsial," kata Jaksa Haerudin dalam sidang dengan agenda tanggapan atas eksepsi atau nota keberatan terdakwa yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (28/5).
Hal ini disampaikan jaksa menanggapi pihak kuasa hukum Syafruddin yang menyatakan bahwa penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) bukan kasus pidana korupsi, melainkan kasus perdata.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jaksa menilai penerbitan SKL oleh Syafruddin, yang merupakan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) kala itu, merupakan perbuatan lanjutan dari rangkaian perbuatan sebelumnya. Yakni, menghapus piutang BDNI. Itu membuat seolah-olah seluruh kewajiban Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham BDNI telah terpenuhi.
Menurut Jaksa, ada fakta-fakta yang ada di dalam surat dakwaan tetapi diabaikan oleh kuasa hukum Terdakwa.
 Uang ganti rugi korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dari terpidana Samadikun Hartono di Gedung Bank Mandiri, Jakarta, Kamis (17/5). ( ANTARA FOTO/Reno Esnir) |
Saat pertemuan dengan pihak BDNI pada 21 Oktober 2003, Syafruddin tidak menyimpulkan bahwa Sjamsul Nursalim telah melakukan misrepresentasi. Padahal, Syafruddin mengetahui bahwa piutang petambak kepada BDNI dalam kondisi macet.
Pada 12 Februari 2004, Syafruddin mengusulkan agar Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) memutuskan penghapusan atas porsi utang unsutainable petambak plasma lebih kurang Rp 2,8 triliun. Padahal, rapat terbatas dengan Presiden pada hari sebelumnya, 11 November 2004 tidak pernah memutuskan dilakukan penghapusan.
Jaksa menjelaskan, perihal objek sengketa pada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) adalah keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan penetapan tertulis dan dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Namun surat dakwaan terhadap Syafruddin sama sekali tidak mengacu pada surat keputusan tata usaha negara, melainkan pada adanya perbuatan terdakwa yang termasuk dalam ketegori tindak pidana korupsi.
"Berdasarkan uraian di atas, maka alasan keberatan atau eksepsi tim penasihat hukum terdakwa haruslah ditolak atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima," kata Jaksa kepada Majelis Hakim.
Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum KPK mendakwa Syaffrudin telah merugikan negara sebesar Rp 4,5 triliun. Syafrudin didakwa telah melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Namun, dalam sidang pembacaan dakwaan, Syaffrudin malah menggugat Menteri Keuangan dan PT Perusahaan Pengelola Aset Persero (PPA). Gugatan dilayangkan Syafruddin dikarenakan kedua pihak tersebut tidak memberikan kepastian hukum kepadanya sehingga dia ditetapkan menjadi tersangka oleh KPK.
Ia mengatakan kebijakannya menerbitkan SKL saat menjabat Kepala BPPN kepada obligor pengendali saham BDNI pada tahun 1999, hanya sebatas menjalankan keputusan KKSK.
(arh/gil)