Jakarta, CNN Indonesia -- Politikus
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Arteria Dahlan tetap menentang rencana
Komisi Pemilihan Umum (KPU) melarang mantan narapidana kasus korupsi untuk mendaftar sebagai calon legislatif (caleg). Larangan itu telah dimuat dalam rancangan peraturan KPU (PKPU) tentang kampanye Pasal 8 Ayat (1) huruf j.
Menurut anggota Komisi III DPR tersebut, larangan eks napi koruptor 'nyaleg' tidak pernah dibahas dalam pembahasan Undang-undang Pemilu antara pemerintah dengan dewan.
"KPU ini hati-hati. Jangan terlalu genit. Anda membahas UU sama kita, tetapi nggak dibahas yang seperti itu. Kemudian Anda harus taat hukum, bahwa yang namanya PKPU adalah penjabaran lebih lanjut daripada norma UU," kata Arteria usai menghadiri sebuah diskusi di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Rabu (30/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Arteria, KPU sebagai lembaga negara tidak boleh membuat peraturan yang melenceng dari norma UU. Berdasarkan UU Pemilu Pasal 240 Ayat 1 huruf g, seorang mantan narapidana yang telah menjalani masa hukuman selama lima tahun atau lebih boleh mencalonkan diri selama yang bersangkutan mengumumkan kepada publik secara jujur dan terbuka bahwa dirinya pernah berstatus sebagai narapidana.
"Norma UU nggak membedakan teroris, koruptor, (pelaku) pelecehan seksual dan sebagainya. Sepanjang diumumkan secara jujur dan terbuka, mantan napi korupsi itu boleh. Ini UU yang mengatakan demikian," kata Arteria.
Arteria menilai jika KPU menerbitkan PKPU larangan eks napi koruptor 'nyaleg', peraturan itu akan bertentangan dengan UU.
Arteria pun meminta agar KPU fokus membenahi hal-hal lain jelang Pilkada Serentak 2018 dan Pilpres 2019. Misalnya, memverifikasi daftar pemilih dan memastikan akurasi hasil pilkada tidak dipengaruhi makelar suara.
"Saya pikir KPU tidak saatnya membuat polemik di muka publik. Jangan sampai energinya pecah tersita untuk hal-hal nggak penting," ujarnya.
Rencana KPU melarang eks narapidana kasus korupsi menjadi caleg memang menuai pro dan kontra. Presiden
Joko Widodo berpendapat larangan itu bisa merusak hak politik seseorang untuk memilih dan dipilih dalam pemilu. Sementara, Wakil Presiden Jusuf Kalla sepakat dengan KPU untuk menerbitkan larangan itu.
(dal/gil)