Jakarta, CNN Indonesia -- Ketika mendengar Jalan Jaksa Jakarta, sebagian besar masyarakat akan terngiang tentang banyaknya pendatang asing di gang kecil di Kebon Sirih, Jakarta Pusat, itu. Turis, pengungsi, dan pencari suaka, bergabung di gang sempit dekat gedung United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) tersebut.
Indonesia menampung sekitar 13 ribu imigran. Sebanyak 5.000 di antaranya merupakan imigran yang terdaftar di UNHCR atau disebut imigran mandiri. Mereka berasal dari berbagai negara, kebanyakan dari negara yang dilanda konflik politik.
Sebagian dari mereka ada di Jalan Jaksa ini karena keberadaan kantor Badan PBB untuk Pengungsi (UNHCR). Mereka berharap mendapat status sebagai pengungsi dari UNHCR. Mereka yang masih menunggu status tersebut dari UNHCR memilih mendirikan kemah dengan tenda darurat di atas trotoar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak jauh dari perkemahan pencari suaka itu, berdiri Masjid Jami Assuhaimiah berdiri kokoh. Masjid ini kerap kali menjadi "suaka" bagi sebagian imigran muslim di jalan Jaksa.
Masjid yang baru selesai direnovasi itu telah menerima pengungsi atau pun pendatang dari negara asing paling tidak sejak 10 tahun terakhir. Tak hanya menyediakan makanan berbuka bagi siapa pun, masjid ini seringkali membiarkan pengungsi atau musafir untuk tinggal sementara di depan masjid.
Seringkali penduduk asli dan para imigran ini juga melakukan ibadah salat maghrib, isya dan tarawih bersama-sama. Menurut salah satu pengurus masjid, Fence Inkiriwang, jumlah pendatang di wilayah itu terus bertambah dari tahun ke tahun.
"Saya rasa selalu bertambah dari tahun ke tahun walaupun ada juga yang dideportasi dikembalikan ke negaranya oleh pemerintah jika ketahuan imigran gelap," kata Fence kepada
CNNIndonesia.com.
Fence yang lahir dan besar di wilayah itu memperhatikan bahwa para imigran dan penduduk asli Kebon Sirih memang tidak saling mengganggu Para imigran baik yang bekerja di Indonesia atau pun pencari suaka saling menjaga kerukunan dengan penduduk setempat walaupun terbatas karena penguasaan bahasa.
Kendati demikian, tidak semua imigran mengunjungi masjid untuk beribadah atau sekadar berbuka bersama. Jumlahnya hanya akan banyak setiap Senin ketika banyak pengungsi mengambil "uang saku" di UNHCR.
"Yang sering berbuka di sini hanya dari muslim India dan Bangladesh. Ada juga satu orang Mongol sepertinya mualaf. Kalau dari Iran atau Afghanistan tahun ini tidak ada. Jumlahnya sekitar 4-6 orang setiap sore. Kami sebagai tuan rumah ya mempersilakan saja," kata Fence.
Tak lama setelah berbincang, Fence memperkenalkan saya pada seorang berkewarganegaraan Bangladesh yang mendatangi masjid untuk berbuka bersama.
Mohammad Delowar, pria yang baru dua bulan di Tanah Air itu fasih berbahasa Indonesia dan dengan senang hati menceritakan perbedaan budaya Ramadan di negara-negara yang pernah dia tinggali.
Mohammad yang menekuni bisnis sepatu di Indonesia mengatakan bahwa puasa di Jakarta khususnya jalan Jaksa sangat damai. Dia tak pernah takut akan menjadi korban perampokan atau kejahatan lainnya meski keluar di tengah malam.
"Saya rasa Indonesia sangat aman,"kata Mohammad.
Sudah 10 hari sejak Mohammad dan temannya Masumbillah berbuka di Masjid Jami Assuhaimah. Menurut mereka, masjid ini tak hanya besar dan sangat dermawan pada orang asing, tetapi memiliki manajemen yang sangat baik dalam menangani jamaahnya.
Mohammad agaknya benar ketika menyebut masjid ini punya manajemen yang tertata. Tak hanya rapi, sistem pembagian hidangan berbuka puasa di masjid ini juga jauh dari kesan ricuh walaupun jumlah jamaah yang datang berbuka cukup banyak.
Mirip dengan berbuka puasa ala Mekah dan Madinah, masyarakat yang ingin berbuka bersama tinggal duduk bersila di depan piring-piring yang sudah ditata di atas tikar plastik memanjang.
Makanan-makanan itu datang dari masyarakat sekitar yang ingin menyumbang. Tak peduli berapa pun jumlahnya, pengurus akan membaginya rata dalam piring-piring.
"Kalau di daerah sini kebanyakan sistemnya lebih kebersamaan ya. Jadi tidak ada rebutan makanan karena masyarakat yang ingin memberikan tajil selalu berikan dulu ke pengurus masjid. Kemudian nanti kami tata seperti itu. Yang mau ikut berbuka, silakan ikut duduk," kata Fence sambil mempersilakan saya ikut berbuka.
Sore itu sekitar 70 orang yang berbuka di masjid kebanyakan menikmati aneka gorengan, lontong hingga donat. Es buah, air putih dan teh botol menjadi pelepas dahaga.
Hidangan yang sangat disyukuri oleh Muhammad dan imigran muslim lainya di masjid tersebut. "Masjid ini tetap yang terbaik dibandingkan masjid-masjid di sekitar sini," kata Mohammad.
(sur)