Jakarta, CNN Indonesia -- Aliansi Nasional Reformasi KUHP menawarkan 20 bentuk pemidanaan non-pemenjaraan sebagai alternatif pemidanaan dalam Revisi UU KUHP atau
RKUHP.
Tawaran itu dikeluarkan lantaran pemerintah dan DPR belum serius membahas alternatif hukuman non-pemenjaraan dalam RKUHP.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice for Reform (ICJR) Anggara mengatakan alternatif hukuman non-pemenjaraan diperlukan untuk kelebihan muatan di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Aliansi Nasional Reformasi KUHP telah merekomendasikan kepada pemerintah dan DPR, 20 bentuk alternatif non-pemenjaraan sebagai upaya untuk komprehensif mengurangi penggunaan penjara," ujar Anggara dalam keterangan tertulis, Selasa (12/6).
Berdasarkan data Ditjen Pemasyarakatan kemenkumham, beban rutan dan lapas di hampir seluruh wilayah di Indonesia mencapai 201 persen per Mei 2018. Hanya tiga Kanwil rutan dan lapas yang tidak mengalami overkapasitas.
Data per 31 Desember 2017 juga menyebut narapidana mencapai 161.401 dan yang tidak dipidana penjara hanya sebesar 46.605 orang.
"Itu berarti pidana penjara lima kali lebih sering digunakan dibandingkan pranata lain di luar penjara," ujarnya.
 Tim Panitia Kerja RKUHP dari pihak Pemerintah (kiri-kanan) Eddy OS, Hakristuti Harkrisnowo, Enny Nurbaningsih, dan Muladi, di Jakarta, Rabu (6/6). ( CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan) |
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Semester II 2017 BPK, jumlah hunian lembaga pemasyarakatan dari 2015 hingga semester I 2017 mengalami peningkatan sebesar 26,16 persen persen.
Sementara, perbandingan kapasitas lapas dengan jumlah penghuni adalah, 120.718 berbanding 176.754 atau overkapasitas 46,42 persen (2015), 120.718 berbanding 204.552 berbanding 120.718 atau 69,45 persen (2016), dan 121.970 berbanding 222.995 atau overkapasitas 82,83 persen (Semeseter I 2017).
Tidak SeriusAnggara menyebut DPR dan Pemerintah belum pernah membahas dengan seksama soal pidana di luar pemenjaraan dalam RKUHP. Padahal, perumus RKUHP sudah sepakat untuk menghadirkan alternatif itu sebagai cara mengurangi dampak pemenjaraan.
Berdasarkan catatan draf RKUHP per 21 Mei 2018, Anggara menyebut perumus baru membuat tiga bentuk alternatif non-pemenjaraan, yakni pidana pengawasan, pidana kerja sosial, dan pidana dengan cara mengangsur.
Jumlah itu jauh dari ketentuan dalam United Nations Standard Minimum Rules for Non-custodial Measures atau yang dikenal dengan The Tokyo Rules yang menyebut paling tidak 11 bentuk alternatif non-pemenjaraan. Selain itu, ada kombinasi antar-11 bentuk tersebut.
Lebih lanjut, Anggara mengatakan ketiga bentuk pidana alternatif versi pemerintah dan DPR itu sulit terealisasi karena batas pemidanaan itu berubah dari draf RKUHP pertama.
Misalnya, pidana pengawasan, dari yang diperuntukkan bagi yang dipidana tujuh tahun penjara, menjadi diperuntukkan bagi yang dipidana maksimal lima tahun penjara.
 Aliansi Masyarakat Sipil melakukan aksi tolak RKUHP di depan gedung DPR RI, Jakarta, Senin (12/2). ( Foto: CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Selain itu, pidana kerja sosial yang tadinya diperuntukkan bagi yang dipidana penjara di bawah enam bulan menjadi dikenakan untuk yang diancam maksimal lima tahun dengan vonis di bawah enam bulan.
Sementara pidana mengangsur berubah dari yang sebelumnya diperuntukkan bagi yang dipidana penjara paling lama 1 tahun, menjadi diperuntukkan bagi yang dijerat pidana dengan ancaman maksimal 5 tahun dan hakim harus menjatuhi pidana paling lama 1 tahun.
"Perubahan syarat ini jelas akan membuat alternatif non-pemenjaraan sulit untuk diterapkan. Jumlah tindak pidana yang dapat diputus dengan pidana selain penjara makin berkurang lagi-lagi, penjara akan menjadi satu-satunya solusi," ujarnya.
20 Rekomendasi Non Pemenjaraan Versi Aliansi Nasional Reformasi KUHP1. Pemberian peringatan;
2. Penggantian kerugian sebagian atau seluruhnya terhadap kerusakan atau kehilangan yang disebabkan oleh tindak pidana;
3. Pembayaran sejumlah uang yang jumlahnya ditentukan oleh Hakim kepada organisasi atau lembaga pemerintah yang bergerak dalam bidang perlindungan korban kejahatan yang jumlahnya tidak boleh melebihi jumlah maksimum denda yang ditentukan oleh Undang Undang;
4. Larangan untuk menghubungi orang ataupun korporasi tertentu secara langsung atau melalui pihak ketiga;
5. Larangan untuk berada di tempat tertentu atau yang berdekatan dengan tempat tertentu;
6. Kewajiban untuk hadir pada waktu tertentu, di tempat tertentu, atau dalam masa waktu tertentu;
7. Kewajiban untuk melapor pada waktu tertentu kepada lembaga pemerintahan tertentu;
 Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kerobokan, Denpasar, Bali, Senin (19/6). ( ANTARA FOTO/Nyoman Budhiana) |
8. Larangan penggunaan obat atau minuman beralkohol dan kewajiban untuk melakukan tes daran dan urin untuk masa waktu tertentu;
9. Pengembalian kepada orangtua/wali;
10. Kewajiban mengikuti Pelatihan kerja yang diselenggarakan oleh pemerintah atau korporasi;
11. Kewajiban untuk mengikuti pendidikan atau pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah atau korporasi;
12. Rehabilitasi medis dan/atau sosial;
13. Perawatan di lembaga yang menyelenggarakan urusan di bidang sosial atau lembaga sosial;
14. Perawatan di rumah sakit jiwa;
15. Konseling;
16. Penyerahan kepada pemerintah;
17. Penyerahan kepada seseorang;
18. Pencabutan surat ijin mengemudi;
19. Perbaikan akibat tindak pidana baik secara keseluruhan atau sebagian;
20. Kewajiban untuk ikut serta dalam sebuah program pelatihan tentang intervensi perilaku.
(arh/gil)