Jakarta, CNN Indonesia -- Langkah kecil anak-anak meramaikan pinggir jalan di depan Rumah Detensi Imigrasi Kalideres, Jakarta Barat, pada Kamis (14/6), satu malam sebelum perayaan Idul Fitri.
Seolah tidak takut dengan kendaraan yang berlalu-lalang, mereka tetap ceria berlarian, bahkan ada yang bermain bola di lapangan parkir tepat di pinggir jalan itu.
Kegembiraan para anak pengungsi itu tetap terpancar meski harus tinggal di tenda darurat, bahkan tidak sedikit yang tidur di emperan toko.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seolah tak peduli, mereka pun tetap bersemangat merayakan malam takbiran. Beberapa dari mereka ada yang merengek dibelikan kembang api. Namun, ada satu anak yang merengek dan seakan menjadi koordinator agar teman-temannya berperilaku baik di hadapan reporter CNNIndonesia.com.
Anak itu bernama Abdul Aziz yang berasal dari Somalia. Menginjak usia 12 tahun, ia sudah berada di Indonesia sejak tiga tahun lalu. Sudah lama dia tak merasakan perayaan Idul Fitri, bahkan di kampung halamannya sendiri karena didera konflik.
"Saya hanya sesekali merasakan Idul Fitri, mungkin saya terakhir merasakan itu ketika saya berumur lima tahun," kata Abdul kepada CNNIndonesia.com.
Abdul datang ke Indonesia bersama orang tuanya dan ketiga saudara kandungnya. Awalnya, mereka menyewa rumah di daerah Tangerang. Namun, karena uang habis, mereka terpaksa tinggal di atas trotoar sembari menunggu bantuan. Tiga bulan sudah kini mereka tinggal di Kalideres.
Mereka tak sendiri, ada tiga ratus pengungsi dari negara konflik lainnya, seperti Somalia, Sudan, Pakistan, dan Afghanistan terpaksa menumpang tenda darurat sembari menunggu untuk direlokasi ke tempat pengungsian yang lebih manusiawi.
Mereka menunggu bantuan dari Organization for Migration (IOM) atau Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR).
Anak asal Somalia lainnya, Abdullah, mengatakan dirinya tetap bersyukur meskipun harus tidur di pinggir jalan karena setidaknya Indonesia lebih aman daripada Somalia.
"Saya harus bersyukur karena masih bisa makan juga dan lebih aman di sini. Kesulitannya ya kalau hujan badan saya basah, tapi tetap ada kemudahan ketika para donatur datang untuk membantu kami," kata Abdullah.
Setelah berbuka puasa, ada dua donatur datang untuk membagikan makanan dan minuman. Saat awal donatur pertama membagikan bantuan, barisan terlihat rapi, tapi ketika stok makanan dan minuman menipis, terjadi kericuhan.
Tangisan dan jeritan anak terdengar memilukan di telinga. Namun, tak lama berselang anak-anak itu kembali ceria bermain bola atau sekedar berlarian.
"Barusan si Abdullah dipukul lalu direbut makanannya oleh anak lainnya. Ini sudah hal yang biasa terjadi di sini ketika para donatur datang. Apalagi kalau donatur itu tidak ada koordinasi dengan koordinator pengungsi Afrika dan Timur Tengah," kata Abdul.
Tidak lama kemudian, donatur kedua datang membawa berbagai keperluan seperti susu bubuk, makanan dan minuman. Donatur ini tidak melakukan koordinasi terlebih dulu dan langsung memarkirkan mobil, kemudian membuka bagasi mobil untuk membagikan donasi.
Sontak saja, mobil donatur tersebut dikerumuni orang. Tepat seperti perkataan Abdul, kericuhan lebih parah terjadi, apalagi ketika orang dewasa ikut dalam perebutan makanan dan minuman. Susu bubuk yang harganya mencapai Rp70 ribu tumpah berserakan akibat "pergulatan" ini.
Nasib anak-anak ini masih tidak jelas, pasalnya Rudenim tidak bisa menampung lagi, sementara rumah bantuan dari IOM juga sudah penuh. Per 15 Maret lalu, IOM juga menghentikan pemberian bantuan finansial bagi ribuan pengungsi asing yang terdampar di Indonesia.
Bantuan dari UNHCR juga masih lama karena birokrasi yang cukup alot. UNCHR mengajukan banyak pertanyaan kepada para pencari suaka ini sebelum memutuskan status mereka sebagai "pengungsi resmi."
[Gambas:Video CNN] (has)