Jakarta, CNN Indonesia -- Proses pemungutan suara dalam Pilkada Serentak 2018 di 171 daerah se-Indonesia, 17 di antaranya tingkat provinsi, telah digelar pada 27 Juni 2018. Pada hari yang sama, sejumlah lembaga survei merilis hasil perhitungan cepat (
quick count) atas pemungutan suara yang sudah terjadi.
Dari hasil hitung cepat tersebut, terjadi sejumlah hasil yang berbeda dengan hasil survei selama masa kampanye Pilkada berlangsung di beberapa daerah.
Salah satunya adalah di Jawa Barat, di mana paslon nomor urut 3, Sudrajat-Ahmad Syaikhu, bisa menerobos ke urutan kedua dalam empat
quick count yang digelar SMRC, LSI Denny JA, Charta Politika, dan Indo Barometer. Padahal, dalam berbagai hasil survei sebelum hari pemungutan suara, pasangan tersebut diprediksi tak bisa berada di urutan dua besar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Misal, survei dari SMRC pada 22 Mei-1 Juni 2018, pasangan Sudrajat-Syaikhu diprediksi hanya mampu memperoleh 7,9 persen suara. Paslon itu berada di bawah Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum dan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi.
Nyatanya, pada hari pemungutan suara, quick count SMRC mencatat Sudrajat-Syaikhu menerobos ke posisi kedua dengan perolehan suara mencapai 29,58 persen. RK-Uu berada di urutan pertama dengan perolehan suara 32,26 persen. Sementara itu, Deddy-Dedi ada di tempat ketiga dengan torehan 25,38 persen.
Setali tiga uang, survei yang dilakukan lembaga Indo Barometer, pada 7-13 Juni 2018 juga menunjukkan pasangan Sudrajat-Syaikhu hanya memperoleh 6,1 persen.
 Ridwan Kamil dan Uu Ruzhanul Ulum sesaat sebelum menggelar jumpa pers menyambut hasil quick count sejumlah lembaga yang menyatakan paslon nomor urut 1 itu unggul dalam Pilgub Jabar, Kota Bandung, 27 Juni 2018. (CNN Indonesia/Tiara Sutari) |
Selain itu, prediksi dari lembaga survei Pilgub Jateng pun terbilang meleset. Sebelum hari pemungutan, paslon petahana Ganjar Pranowo-Taj Yasin disebutkan unggul jauh berdasarkan hasil sejumlah lembaga survei dibandingkan lawannya, Sudirman Said-Ida Fauziah.
Salah satunya survei dari Indo Barometer pada 7-13 Juni yang memprediksi Ganjar-Yasin akan memperoleh 67,3 persen. Sementara pasangan Sudirman-Ida diprediksi hanya memperoleh 21,1 persen suara. Nyatanya, dalam hasil hitung cepat yang dilaksanakan Indo Barometer pada hari H, Ganjar-Yasin memperoleh 56,74 persen suara, berselisih sedikit dengan Sudirman-Ida (43,26 persen).
Di antara tiga provinsi pulau Jawa yang turut menggelar Pilkada, hanya di Jatim yang hasil survei sejumlah lembaga tak berbeda jauh dengan hasil
quick count kemarin.
Salah satunya,
quick count SMRC mencatat paslon nomor urut 1 Khofifah Indar Parawansa-Emil Elestianto Dardak, unggul dengan perolehan suara 52,28 persen. Sementara itu, lawannya, paslon petahana Saifullah Yusuf (Gus Ipul)-Puti Guntur Soekarno terpaut sedikit perolehan suaranya yakni 47,72 persen.
Hal itu tak jauh beda dengan survei SMRC sebelum hari H. Dalam survei yang digelar 21-29 Mei 2018, Khofifah-Emil diprediksi unggul dengan selisih sekitar delapan persen dari Gus Ipul-Puti. Apa yang diperoleh SMRC dan juga sejumlah lembaga survei lain itu tak jauh beda antara hasil survei dan hasil
quick count.
Sementara itu, terkait perbedaan yang terjadi seperti di Jabar dan Jateng, peneliti dari SMRC Sirojudin Abbas mengatakan itu memang terbuka untuk terjadi karena proporsi pendukung lemah di masing-masing calon saat survei berlangsung.
"Proporsi pemilih yang pindah dukungan dari satu calon ke calon lain dalam analisis kita di akhir Mei dukungan masih belum stabil," tutur Sirojudin kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (28/6).
Untuk Pilgub Jabar, Sirojudin mengaku tak kaget dengan kenaikan perolehan suara pasangan Sudrajat-Syaikhu. Pasalnya, kekuatan paslon didukung Gerindra, PAN, dan PKS itu tidak bergantung pada sosok tokohnya saja. Sirajuddin berpendapat kekuatan pasangan 'Asyik' tersebut justru bisa dilihat menarik dari upaya PKS untuk melanjutkan kekuasaan di Jabar.
Apalagi, gubernur Jabar sebelumnya , Ahmad Heryawan, merupakan kader PKS yang telah berkuasa selama 10 tahun.
"Mungkin Sudrajat-Syaikhu belum terlalu populer, tapi jaringan kekuasan dan jaringan sosial yang dibangun selama 10 tahun oleh Aher punya efek besar," ujar Sirojudin.
Sementara untuk Pilgub Jateng, Sirojudin menilai ada perubahan pemilih yang terjadi selama bulan Juni, terutama saat bulan puasa. Ia berpandangan ada mobilisasi isu agama oleh suatu kelompok dengan memanfaatkan momentum bulan puasa tersebut.
"Perubahan yang terjadi selama dalam satu bulan, bulan Juni lewat puasa dan seterusnya," ucap Sirojudin.
Sementara itu, pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun mengatakan ada rentang waktu antara hasilnya survei terakhir dengan waktu pelaksanaan pemungutan suara. Dalam rentang waktu itu, kata Ubed, bisa jadi mesin politik partai pengusung memanfaatkan masa yang ada secara optimal guna mendulang suara.
"Ada waktu yang memungkinkan bekerjanya mesin politik secara optimal," kata Ubedilah saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Rabu (27/6).
Selain itu, sambungnya, faktor lain adalah terdapat perubahan cara pandang dari para pemilih, khususnya mereka yang tergabung dalam kelompok massa mengambang (floating mass).
"Mereka
floating mass lebih dari 50 persen, mereka yang tidak memiliki afiliasi politik," ujarnya.
Di sisi lain, Ubedilah beranggapan media sosial justru tak mempunyai dampak siginifikan dalam mengubah cara pandang pemilih. Ia memperkirakan media sosial hanya mampu mempengaruhi sekitar 15 hingga 20 persen pemilih saja.
Sebaliknya, ia menegaskan kampanye yang dilakukan secara langsung oleh kandidat di tengah masyarakat lah yang justru memiliki dampak besar untuk mengubah cara pandang pemilih.
"Lebih efektif adalah
person to person, jadi
direct selling yang dilakukan kandidat langsung terhadap pemilih, itu yang membuat perubahan," tuturnya.
 Ganjar Pranowo dan Taj Yasin diarak pendukungnya pada hari pemungutan suara Pilgub Jateng, 27 Juni 2018. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra) |
Alasan Keoknya Sejumlah PetahanaSelainnya melesetnya sejumlah hasil survei, di Pilkada 2018 ini juga tak sedikit para petahana yang harus kalah bertarung. Di antaranya, Deddy Mizwar di Pilgub Jabar, Saifullah Yusuf di Pilgub Jatim, Ridho Ficardo di Pilgub Lampung.
Ubedilah berpendapat kekalahan tersebut terjadi lantaran para petahana merasa terlalu percaya diri bisa memenangkan pertarungan di daerahnya.
"Mereka merasa sudah nyaman untuk memenangkan pertarungan, akhirnya lalai terhadap kekuatan dan strategi lawan politik," kata dia.
Selain itu, kegagalan para petahana dalam mengampanyekan keberhasilan program kerja atau kebijakan yang telah dilakukannya juga menjadi penyebab kalahnya para petahana tersebut. Lebih dari itu, Ubeidilah mengatakan faktor lain yang berpengaruh atas kekalahan para petahana tersebut adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja para paslon saat menjabat.
Sementara itu, Sirojudin menilai kalahnya petahana di Pilkada merupakan hal wajar karena masyarakat menginginkan pembaharuan dalam iklim pemerintahan. Ia mencontohkan kekalahan Gus Ipul dalam Pilgub Jatim. Sebab, Gus Ipul sendiri telah menjabat sebagai sebagai wakil gubernur Jatim selama sepuluh tahun.
"Mengganti iklim pemerintahan bagaimanapun juga Gus Ipul sudah sepuluh tahun berkuasa di Jatim dan kelihatannya keinginan (berganti pemimpin) itu cukup besar dan menjadi kekuatan mobilisasi," tuturnya.
Sementara di Jabar, Sirojudin menilai Deddy Mizwar belum mampu mendapatkan kepercayaan publik dalam kapasitasnya sebagai seorang pemimpin pemerintahan. Apalagi, masyarakat Jabar juga mengetahui Demiz berasal dari kalangan artis.
"Sesungguhnya dia populer, disukai, tapi belum cukup kredibel untuk menjadi pemimpin pemerintahan," kata Sirojudin.
(kid)