ANALISIS

Menimbang Peluang Poros Ketiga Selepas Pilkada Serentak

SAH | CNN Indonesia
Jumat, 29 Jun 2018 10:02 WIB
Hasil Pilkada Serentak dianggap cermin kehendak masyarakat yang menginginkan pemimpin baru, tetapi wacana poros ketiga dianggap masih sulit terwujud.
Hasil Pilkada Serentak dianggap cermin kehendak masyarakat yang menginginkan pemimpin baru, tetapi wacana poros ketiga dianggap masih sulit terwujud. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Hasil sementara hitung cepat sejumlah lembaga survei pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018 di 171 daerah cukup mengejutkan. Sejumlah partai-partai besar menduduki posisi terbawah.

Sementara beberapa partai 'kelas menengah' justru mendulang torehan positif. Khusus untuk kategori Pemilihan Gubernur di 17 propinsi Partai Amanat Nasional dan Partai Nasional Demokrat menempati posisi pemuncak dengan persentase kemenangan 58,8 persen.

Selain itu, Hanura dan Golkar juga sama-sama memperoleh kemenangan sebesar 52,9 persen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Partai koalisi yang lain, yakni PPP sebesar 41,2 persen dan PKB sebesar 35,3 persen. Sementara PDIP selaku partai pengusung Jokowi berada di posisi buncit dengan 23, persen.

Di sisi lain, hasil buruk dialami oleh Gerindra selaku parpol oposisi pemerintah. Partai yang pimpin Prabowo Subianto itu hanya mengantongi kemenangan sebesar 17,6 persen. Sementara PKS lebih baik dengan 41,2 persen.

Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun hasil sementara Pilkada ini mencerminkan kehendak masyarakat pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Menurut dia, mereka menginginkan perubahan dan sosok pemimpin baru.

Hal itu, kata dia, tergambar dari torehan buruk PDIP dan Partai Gerindra yang hanya menempati dua posisi terbawah. Hasil itu menunjukkan masyarakat tidak lagi memberikan dukungan kepada partai pengusung presiden dan lawan terkuatnya di Pemilu mendatang.


"Masyarakat juga mulai sedikit berpikir alternatif bisa jadi tidak Prabowo Subianto (Ketua Umum Partai Gerindra) dan juga mereka menolak Jokowi (Presiden RI Joko Widodo). Ada suatu keinginan untuk itu," kata Ubed kepada CNNIndonesia.com, Kamis (28/6).

Menurut Ubed keseluruhan hasil Pilkada serentak itu kemungkinan besar bakal merubah peta politik dan koalisi di Pemilu dan Pemilihan Presiden 2019. Pasalnya, partai-partai kelas menengah mempwroleh raihan yang sangat positif.

Nilai tawar mereka untuk mengajak partai-partai menengah lainnya guna membentuk koalisi pun semakin tinggi dengan melihat hasil Pilkada serentak ini.

"Kemungkinan perubahannya bakal ada poros ketiga yang ditentukan oleh partai menengah," ujar dia.


Terdapat dua partai yang bakal menjadi pemegang kunci terbentuknya poros ketiga dilihat dari jumlah kursi di parlemen dan hasil Pilkada serentak. Berdasarkan jumlah kursi di parlemen Partai Demokrat bakal tetap menjadi pemegang kunci pembentukan poros ketiga dengan 10,19 kursi parlemen.

"Poros ketiga aktornya masih belum berubah, masih SBY (Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono) karena kursinya masih sepuluh persen," kata dia.

Sementara berdasarkan hasil Pilkada 2018 PAN yang menjadi pemegang kunci dengan persentase kemenangan sebesar 58,8 persen. PAN juga unggul di sepuluh provinsi. Dia pun menjadi pemenang di provinsi yang menjadi lumbung suara Pemilu, Jawa Timur.

Ubed menyebutkan terdapat beberapa kemungkinan koalisi poros ketiga. Pertama, Demokrat kemungkinan bakal bergabung dengan PAN, PKS, dan PKB.

Kemungkinan selanjutnya PAN bisa saja hanya mengajak PKS dan PKB tanpa mengajak Partai Demokrat. Kendati begitu, kemungkinan koalisi ini masih sangat cair.


"Ini masih terlalu cair tapi ada kecenderungannya ingin ada perubahan. tinggal bagaimana elite partai melakukan manuver dan negosiasi yang canggih untuk bisa mengkerucutkan poros itu," kata dia.

Di sisi lain, Direktur Lembaga Survei Indonesia (LSI) Kuskridho (Dodi) Ambardhi menilai hasil Pilkada serentak 2018 justru tidak akan banyak berpengaruh terhadap peta politik, dan wacana pembentukan poros ketiga di Pilpres dan Pemilu 2019.

Menurutnya hasil yang diperoleh oleh partai-partai pemuncak di Pilkada 2018 tidak terlalu menggambarkan kontribusi partai terhadap Pemilu 2019. Kemenangan yang diperoleh oleh kandidat Pilkada 2018, menurut Dodi, tidak sepenuhnya menggambarkan kekuatan dari mesin partai di daerah tersebut.

Ia menilai perolehan suara partai yang cukup tinggi disebabkan oleh pengaruh calon yang diusung. Ia mencontohkan kemenangan sementara pasangan Khofifah Indar Parawansa-Emil Dardak bukan serta merta karena komando dan pengaruh PAN yang kuat di Jawa Timur. Justru kemenangan Khofifah di Jawa Timur disebabkan oleh sosok dan ketokohannya yang kuat.


"Apakah PAN kemudian bisa dianggap mesin partainya sukses? Itu data exit-pol kita menunjukkan enggak. Dia masih kalah kekuatan komandonya untuk memerintah kepada pemilihnya memberikan suaranya kepada kandidat yang diusung oleh PAN," ujar dia.

Selain itu, ia menilai apabila poros ketiga ini terbentuk, kesempatannya untuk menang bakal tetap sulit, karena partai-partai inisiator poros ketiga seperti PAN dan Demokrat tidak memiliki tokoh yang mumpuni untuk diusung.

"Partai agak susah. Mereka punya Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) untuk Demokrat dan punya Amien Rais di PAN. Tapi kalau dilihat sejarahnya, Amien kan sudah jadi kandidat presiden dan dapatnya 15 persen. Ada batas atas. Kalau disorongkan lagi bisa saja, tapi prospek kemenangannya akan lebih kecil," kata dia.


"Biasanya partai akan berpikir prospek kemenangannya kalau kecil ya enggak usah. Sementara AHY masih muda, belum tentu ada yang mau menjadikan dia sebagai cawapres," lanjut Dodi. (ayp)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER