ANALISIS

Menakar Gerilya Prabowo lewat 'Perang Udara' Jelang Pilpres

FHR | CNN Indonesia
Kamis, 05 Jul 2018 12:46 WIB
Strategi 'serangan udara' via media sosial menjadi salah satu alat bagi para politikus untuk menaikkan nama dan mengkritik lawannya guna meraih simpati rakyat.
Prabowo Subianto gencar memberikan pernyataan di media sosial. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Media sosial menjadi salah satu sarana alternatif yang dimanfaatkan untuk berkomunikasi. Termasuk bagi para politisi untuk menyampaikan gagasannya demi meraih simpati masyarakat.

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) dan mantan presiden yang sudah setahun lebih turun gunung memimpin Partai Demokrat Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah politikus utama di Indonesia saat ini yang rajin menggunakan media sosial sebagai sarana komunikasi langsung.


Belakangan, Ketum Gerindra Prabowo Subianto pun mulai menggunakan taktik 'serangan udara' untuk mencari simpati, bukan sekedar mengabarkan kegiatan yang dilakukan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Misalnya, saat gelaran pilkada serentak di 171 wilayah yang dilaksanakan beberapa waktu lalu. Melalui akun Twitternya Prabowo menyampaikan pesan bernada pengingat bagi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. 



Pada hari yang sama, Prabowo mengkritik kebijakan mengenai tenaga kerja asing lewat utas dengan tanda pagar (#) HariKebangkitanNasional.

"Bukan untuk menjadi kacung bangsa lain. Tidak juga menindas bangsa lain. Tetapi sederajat dengan bangsa lain untuk menciptakan kehidupan yang aman dan damai," demikian cuitan Prabowo pada 20 Mei 2018.

Kemudian, pada 24 Juni lalu, Prabowo menyiarkan langsung diskusi soal kepemimpinan lewat fitur Live di akun media sosial Facebook.

Melihat hal tersebut, pengamat komunikasi politik Emrus Sihombing berpendapat, media sosial dipilih Prabowo sebagai sarana berkomunikasi karena beberapa alasan. 

Salah satunya, minimnya distorsi jika dibandingkan dengan berkomunikasi melalui media massa baik dalam bentuk daring, televisi, radio, atau koran. Sebab ada kebijakan redaksi di balik media massa.

Sedangkan jika melalui media sosial, ia bisa berkomunikasi langsung dengan masyarakat atau audiensnya.

"Karena tidak ada pihak ketiga, berbeda dengan menggunakan media berita karena ada kebijakan redaksional. Dengan media sosial Prabowo bisa menampaikan secara langsung kepada masyarakat," kata Emrus saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (4/7).

Emrus mengatakan walaupun media sosial menjadi cara altenatif dalam berkomunikasi, belum menjadi jaminan Prabowo akan mendapatkan ledakan simpati dari masyarakat. Sebab, dalam komunikasi juga ada faktor lainnya agar tercipta homogenitas pandangan. Di antaranya adalah intensitas dan konten atau substansi pesan yang disampaikan. 

Sedianya dalam waktu kurang dari setahun sebelum pemilihan presiden 2019, Prabowo memanfaatkan media sosial dengan menyampaikan pesan-pesan yang bisa menyita perhatian massa terutama yang belum menentukan pilihan (floating mass).

Misalnya dengan mengungkapkan berbagai kritik tajam terhadap pemerintahan Jokowi, namun berdasarkan data-fakta yang akurat. Selain itu, perlu juga disampaikan gagasan-gagasan mengenai solusi dari permasalahan yang dikritiknya tersebut. 

Dengan cara ini, masyarakat akan berpikir ada sosok yang lebih baik untuk memimpin Indonesia ke depan. Lebih jauh, sambung Emrus, tidak menutup kemungkinan bahwa suara-suara para netizen yang selama ini diidentikan lebih dekat dengan Jokowi akan beralih ke Prabowo.

"Prabowo juga tergantung bagaimana mendekatkan diri dengan masyarakat. Dengan cara mengkritik berdasarkan data-dan bukti, serta solusi-solusi. Kalau itu dilakukan dengan baik, saya pikir Prabowo juga bisa mendapat posisi," kata Emrus.


Hal hampir serupa diungkap pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio. Hendri menilai, "Pak Prabowo selama ini hanya melontarkan kritik tanpa data-data yang kuat."

"Kritikan harus juga ada solusi sehingga pada saat Prabowo mengkritik, masyrakat bisa menilai 'ini sosoknya ada solusinya nih', tapi sekarang kan enggak," sambung pendiri lembaga survei KedaiKOPI.

Hendri pun berpendapat andai Prabowo bisa lebih aktif memanfaatkan celah melalui kritik dan solusi atas kondisi yang dialami pemerintah saat ini, maka bisa memperlebar kemungkinan untuk meraih banyak dukungan.

Misalnya, dengan mengkritik kenaikan rupiah atau berbagai hal terkait situasi ekonomi saat ini. Tak hanya Prabowo, celah ini juga dapat dimanfaatkan oleh calon-calon alternatif lainnya.

"Sebetulnya ini kondisi yang menguntungkan calon alternatif karena masyarakat akan menilai kondisi pemerintahan Jokowi saat ini, misalnya tentang fluktuasi rupiah yang melemah. Berbagai hasi survei menyebutkan maslah terbesar pemerintahan Jokowi adalah masalah ekonomi," kata dia.

Menakar 'Gerilya' Prabowo lewat 'Perang Udara' Jelang PilpresMedia sosial menjadi sarana komunikasi yang juga kerap dimanfaatkan para politikus untuk berkomunikasi langsung dengan pengguna, bahkan secara langsung lewat fitur live atau tanya jawab. (Ilustrasi/LoboStudioHamburg/Pixabay)

Kekuatan Media Sosial

Efektifitas penggunaan media sosial untuk berkomunikasi dan memainkan isu politik bisa dilihat dari hasil pemilihan gubernur di Jawa Barat dan Jawa Tengah 2018. Kandidat yang diusung partai Gerindra dan PKS memperoleh suara yang cukup tinggi. Padahal, survei yang dilakukan sebelumnya menunjukan perolehan suara kandidat tersebut terbilang rendah.

Misalnya, survei yang dilakukan Saiful Mujani Research Center (SMRC) pada 22 Mei-1 Juni 2018, Sudrajat-Syaikhu yang merupakan kandidat dari partai Gerindra dan PKS hanya mendapat 7,9 persen. Setali tiga uang, survei yang dilakukan lembaga Indo Barometer, pada 7-13 Juni 2018 juga menunjukkan pasangan Sudrajat-Syaikhu hanya memperoleh 6,1 persen.

Namun hasil final hitung cepat (quick count) LSI Denny JA dengan data masuk mencapai 100 persen, pasangan Sudrajat-Ahmad Syaikhu memperoleh suara sebesar 27,98 persen. Perolehan suara itu berselisih dengan raihan Ridwan Kamil-Uu Ruzhanul Ulum yang mendapat 32,98 persen suara.

Perolehan suara Sudrajat-Syaikhu mengungguli pasangan Deddy Mizwar-Dedi Mulyadi dan Tb Hasanuddin-Anton Charliyan.

Hal serupa juga terjadi di Jateng. berdasarkan survei Indo Barometer pada 7 hingga 13 Juni, pasangan Sudirman Said-Ida Fauziyah yang diusung Partai Gerindra bersama PKB, PAN dan PKS meraih suara 21,1 persen suara. Survei dilakukan terhadap 800 responden yang tersebar di 35 kabupaten/kota Jawa Tengah. 

Namun hasil hitung cepat Indo Barometer mencatat Sudirman-Ida meraih 43,26 persen suara. Sedangkan pesaingnya, Ganjar Pranowo-TajYasin memperolehan 67,3 persen suara pemilih.

Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera sebelumnya mengatakan dalam pilkada kali ini akan menggunakan sejumlah strategi. Salah satunya, ia menyebut dengan istilah serangan udara. Melalui strategi ini, komunikasi kepada masyarakat dilakukan melalui media sosial sejak H-7 pemungutan suara.

Pengamat politik Universitas Padjajaran Firman Manan menilai strategi yang diterapkan cukup efektif karena hasil penghitungan cepat pun menunjukkan lonjakan perolehan suara kandidat yang diusung Partai Gerindra dan PKS.

"Di media sosial, perang udara luar biasa dan sepertinya yang mendominasi itu pendukung dari pasangan Asyik (Sudrajat-Syaikhu)," kata Firman kepada CNNIndonesia.com beberapa saat setelah pelaksanaan Pilkada Serentak pada 27 Juni 2018.

(kid/sur)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER