Jakarta, CNN Indonesia -- Sidang kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL)
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung, kembali digelar hari ini.
Di hadapan hakim, mantan Menteri Koordinator Ekonomi
Kwik Kian Gie yang dihadirkan sebagai saksi membeberkan soal pertemuan di kediaman Presiden RI 2001-2004 Megawati Soekarnoputri yang berujung pada penyetujuan pemberian SKL penerima BLBI.
Kwik dihadirkan ke persidangan oleh jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jaksa Wayan Riana membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Kwik yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam BAP disebutkan sebelum pemerintah memutuskan menerbitkan SKL BLBI, digelar tiga kali pertemuan pada 2002 silam. Pertemuan pertama berlangsung di rumah Megawati di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta.
Turut hadir dalam pertemuan itu, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti selaku Menko Perekonomian, Boediono selaku Menkeu, Laksamana Sukardi selaku menteri BUMN dan Ma Rahman selaku Jaksa Agung.
"Saya diundang oleh Megawati di kediaman presiden (jalan) Teuku Umar untuk membahas tentang SKL obligor yang kooperatif, tetapi saya menolak karena saya berpendirian bahwa obligor yang dapat SKL bayar utang sesuai dengan kas negara," kata jaksa Wayan saat membacakan BAP Kwik, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (5/7).
Dalam BAP, kata Jaksa Wayan, Kwik mengatakan dalam pertemuan itu dia tidak setuju karena sedianya pertemuan itu harus dilakukan di Istana Negara dengan disertai undangan resmi. Apalagi topiknya cukup krusial, yakni tentang keuangan negara. Pertemuan itu pun ditutup oleh Megawati tanpa menghasilkan satu keputusan.
Kemudian, sesuai BAP Kwik, pertemuan kedua digelar di Istana Negara. Pertemuan kali ini juga dihadiri oleh orang-orang yang sama ketika pertemuan pertama di kediaman Megawati.
Dalam pertemuan kedua ini juga, Kwik menyatakan menolak penerbitan SKL bagi obligor meski telah dijelaskan bahwa SKL hanya diberikan kepada obligor yang dianggap kooperatif.
 Presiden RI 2001-2004 Megawati Soekarnoputri. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Menurut Kwik, obligor yang dianggap kooperatif itu seharusnya tidak hanya datang saat dipanggil, tetapi juga memenuhi kewajibannya membayar utang. Sebab, bisa saja obligor tersebut bersikap kooperatif saat dipanggil, tapi faktanya tidak membayar uang kas negara yang sesuai. Rapat kedua pun ditutup tanpa hasil.
Lantas, rapat ketiga membahas SKL BLBI kembali digelar di Istana Negara. Namun, menurut pengakuan Kwik dalam BAP, kali ini Yusril Ihza Mahendra selaku Menteri Kehakiman turut hadir. Pertemuan itu membahas topik yang sama. Sikap Kwik pun tetap sama, menolak penerbitan SKL.
Kwik mengaku saat itu sudah menyampaikan pendapat soal wacana penerbitan SKL BLBI. Namun, argumennya ditepis dan Megawati pun memerintahkan Yusril menyusun instruksi presiden terkait hal tersebut.
Rangkaian pertemuan itu diakui oleh Kwik dalam persidangan. Ia pun menjelaskan dirinya tak bisa beradu pendapat pada pertemuan terakhir lantaran para pihak yang hadir memberikan inisiatif, hingga akhirnya Megawati memutuskan hal seperti itu.
"Di dalam rapat sidang kabinet terakhir, saya tidak banyak protes karena tidak berdaya dengan pembicaraan para menteri yang langsung inisiatif bertubi-tubi. Akhirnya, Presiden Megawati menutup rapat. Seingat saya menugaskan Yusril Menteri Kehakiman untuk menyusunnya," kata Kwik di persidangan.
Beberapa waktu kemudian, instruksi Presiden (Inpres) mengenai status hukum obilgor BLBI terbit dan diteken pada 30 Desember 2002.
(ayp/gil)