Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menetapkan
sistem zonasi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2018 dengan tujuan menghapus pola pikir atau mindset sekolah favorit dan non-favorit.
Pemerhati pendidikan Universitas Multimedia Nusantara Doni Koesoema menilai sistem zonasi bisa saja menjadi langkah awal Kemendikbud menghapus pola pikir kastanisasi sekolah. Namun, langkah tersebut pun masih diragukan keberhasilannya.
"Mindset sekolah itu favorit atau tidak bukanlah Kemendikbud, tetapi masyarakat sendiri yang menilai sekolah itu favorit atau tidak," kata Doni kepada
CNNIndonesia.com, Rabu (11/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Doni, sebuah sekolah dianggap favorit umumnya karena memiliki tenaga pengajar dan sarana-prasarana yang baik.
Sehingga, tantangan pemerintah adalah memberikan kesamaan kualitas guru dan fasilitas sekolah, baik di kota maupun pinggiran daerah.
"Jadi, sistem zonasi nggak menjamin bahwa sistem kasta itu hilang. Sistem itu hanya menjamin akses orang miskin ke sekolah itu ada, tetapi tidak ada kaitannya dengan akses kualitas," kata Doni.
Doni menduga terdapat kesalahpahaman pemerintah daerah (pemda), dalam hal ini dinas pendidikan setempat dan orang tua calon peserta didik terkait pasal-pasal di Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 14 Tahun 2018 tentang PPDB.
Misalnya, soal aturan bahwa pemda wajib membebaskan biaya pendidikan kepada siswa prasejahtera, paling sedikit 20 persen dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima. Kondisi prasejahtera dibuktikan dengan surat keterangan tidak mampu (SKTM).
"Aturan 20 persen untuk orang miskin yang diharuskan menggunakan SKTM itu tampaknya dipahami oleh orang-orang sebagai peluang untuk bisa masuk ke sekolah favorit," kata Doni.
Alhasil, Doni melanjutkan para orang tua 'nekat' memalsukan SKTM an berpura-pura miskin sebagaimana terjadi di Jawa Tengah.
"Itu kan penipuan publik dan pelanggaran moral yang memprihatinkan dalam masyarakat. Mereka nggak bisa membedakan mana yang benar mana yang tidak," kata Doni.
Doni pun menyayangkan seluruh pihak pemda, mulai dari level RT/RW hingga kelurahan yang terkesan memudahkan pemberian SKTM.
Diketahui, membludaknya kepemilikan SKTM palsu demi mengikuti PPDB di Jateng menjadi sorotan publik. Padahal, 78 ribu pemilik SKTM palsu itu sesungguhnya hidup berkecukupan.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menilai banyak pasal-pasal di Permendikbud 14/2018 yang memiliki pengertian bias.
Jika Permendikbud 14/2018 itu diteliti secara seksama, kata Heru, masalah SKTM tidak ada sangkut pautnya dengan proses penerimaan siswa baru. Dengan demikian, penerimaan dengan jalur SKTM sebagaimana terjadi Jateng tidak berlandaskan payung hukum.
"Dalam praktiknya, ternyata daerah mengimplementasikannya beda. Di dalam PPDB ini ada jalur (menggunakan) SKTM, ini (pemerintah) daerah menggunakan aturan yang mana?" kata Heru.
(dal/dal)