Survei UI: Orang Berhenti Beli Rokok Jika Harganya Rp70 Ribu

Mesha Mediani | CNN Indonesia
Selasa, 17 Jul 2018 20:59 WIB
Berdasarkan survei PJKS UI yang melibatkan 1.000 responden di 34 provinsi, sebanyak 74 persen dari 404 responden perokok akan berhenti jika harganya Rp70 ribu.
Berdasarkan survei PJKS UI yang melibatkan 1.000 responden di 34 provinsi, sebanyak 74 persen dari 404 responden perokok akan berhenti jika harganya Rp70 ribu. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Orang akan berhenti membeli rokok jika harga per bungkusnya sangat tinggi. Demikian hasil penelitian yang dipublikasi Pusat Kajian Jaminan Sosial (PJKS) Universitas Indonesia.

"Tingginya harga rokok diikuti para perokok akan berhenti membeli menunjukkan bukti bahwa rokok adalah zat adiktif. Sehingga, mereka akan membeli juga harga rokok yang tinggi sampai batas kondisi keuangannya tidak cukup leluasa," kata anggota tim peneliti PKJS UI Renny Nurhasana dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (17/4).

Survei itu mengukur dukungan masyarakat terhadap kenaikan harga rokok dan mengetahui sikap perokok atasnya. Survei melibatkan 1.000 responden di 34 provinsi selama bulan Mei 2018.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT


Hasilnya, sebanyak 66 persen dari 404 responden perokok akan berhenti membeli rokok bila harganya naik menjadi Rp60.000 per bungkus. Dan, sebanyak 74 persen dari 404 responden perokok mengatakan akan berhenti merokok bila harganya Rp70.000 per bungkus.

Di tempat yang sama, Guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Hasbullah Thabrany memandang pemerintah seharusnya berani menaikkan harga rokok.

Dengan begitu, katanya, secara tidak langsung pemerintah dapat menghimpun dana lebih banyak untuk pembangunan.

"Jika para perokok dari kalangan keluarga miskin mampu membeli rokok sebungkus sekitar rata-rata Rp17.000 per hari atau Rp510.000 per bulan, tetapi mengaku tidak mampu membayar iuran JKN (Jaminan Kesehatan Nasional) Rp50.000 per bulan atau Rp200.000 per keluarga, maka masyarakat kita tidak normal," kata Hasbullah.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Unit Komunikasi Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNPzK) Ruddy Gobel mengatakan masalah rokok sangat dekat dengan persoalan kemiskinan.

Hal itu disebabkan karena dominasi pengeluaran untuk rokok di kalangan masyarakat miskin sangat besar. Rokok pun merupakan pengeluaran terbesar kedua setelah beras atau mencapai 11 persen dari total pengeluaran rumah tangga miskin.

"Hal itu mengurangi kemampuan masyarakat miskin untuk pengeluaran makanan bergizi seperti telur, pengeluaran untuk pendidikan anak, dan juga pengeluaran untuk kesehatan," kata Ruddy.

(kid/gil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER