Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah bakal calon anggota legislatif jelang Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 diketahui merupakan bekas kader partai lain. Isu bayaran uang menyertai kepindahan kader tersebut, terutama dalam proses pindahnya artis Lucky Hakim dari Partai Amanat Nasional ke Nasional Demokrat (NasDem).
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menyebut biaya transfer Lucky mencapai Rp5 miliar. Hal ini belakangan dibantah oleh Sekretaris Jenderal Nasdem Johnny G Plate.
Zulhas, sapaan Zulkifli juga menyamakan hal tersebut seperti transfer pemain sepak bola.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejumlah nama lain juga meramaikan 'bursa transfer' kader meski tanpa ada isu uang didalamnya. Sebut saja mantan petinju Chris John yang pindah dari Demokrat ke Nasdem atau Yusuf Supendi, pendiri Partai Keadilan Sejahtera yang kini jadi caleg Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Pengamat Politik Pengamat politik Universitas Islam Negeri Jakarta Syarif Hidayatullah Adi Prayitno menilai, meski dibantah oleh sejumlah elite partai, fenomena perpindahan kader ini dinilai bersifat transaksional.
Ia setuju jika perpindahan kader antarpartai disebut seperti layaknya transfer pemain sepak bola untuk memperkuat skuat atau komposisi partai.
"Pernyataan PAN soal 'transfer' politikus PAN yang pindah partai semakin menebalkan keyakinan bahwa caleg diperlakukan sebagai alat transaksi politik. Mirip-mirip dengan transfer pemain bola demi memperkuat skuat tim," kata Adi kepada
CNNIndonesia.com, Kamis (18/7).
Menurutnya, kader yang pindah itu mendapatkan keuntungan berupa perlakuan istimewa dari partai barunya seperti penempatan nomor urut, jaminan biaya kampanye, maupun posisi penting di partai baru.
Adi menilai bahwa model perpindahan kader dengan iming-imimg berupa nominal rupiah ini merupakan fenomena baru dan belum pernah terjadi sebelumnya di Indonesia.
"Baru musim pileg sekarang fenomena semacam ini vulgar terjadi tanpa tedeng aling-aling. Biasanya banyak politisi lompat pagar karena konflik internal karena tak adanya
chemistry yang sama," ujar dia.
Menurut dia dengan fenomena seperti ini pada akhirnya partai seakan tidak memiliki ideologi lagi karena kadernya dapat dengan mudah pindah.
"Ideologi partai nyaris punah. Jadinya kaderisasi internal parpol longgar yang memungkinkan siapa saja bisa loncat pagar," ujarnya.
Sementara itu Pengamat Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun menilai fenomena seperti ini menunjukan bahwa politik sudah menjadi pasar dan para kadernya adalah komoditas yang bisa diperjualbelikan.
Ia tidak memungkiri bahwa fenomena transfer kader ini mengunjukan bahwa terjadi transaksi dengan sejumlah uang antara parpol peminang dengan calon kadernya.
"Ada transaksi ini sudah jadi industri politik jadinya," ujar dia.
Selain itu pola transfer kader atau bacaleg ini, dinilai Ubed, menodai etika politik. Menurut dia fenomena ini menggambarkan bahwa para kader dan partai politik tidak lagi memegang teguh moralitas dan nilai-nilai dalam berpolitik.
"Pola transfer itu faktor rupiah yang mempengaruhi perubahan pergesaran kader. Kalau dengan pola semacam itu berarti melanggar nilai-nilai adiluhung dalam politik kalau itu terjadi, benar dikatakan kalau melanggar nilai politik," ujar dia.
Kendati melanggar etika politik, transfer kader ini, menurut Ubed tidak melanggar aturan apapun. Pasalnya, negara tidak mengatur perpindahan kader dari satu partai ke partai lain.
Di sisi lain, Komisioner KPU Pramono Ubaid mengatakan tidak ada aturan yang melarang kader untuk berpindah partai. Hanya saja sebelum mendaftarkan diri sebagai caleg di partai baru kader itu harus memenuhi beberapa syarat.
Pertama kader itu harus menyertakan surat pengunduran diri dari partai lama. Kemudian harus memiliki kartu anggota atau terdaftar sebagai kader partai baru.
"Ketiga tanda terima bahwa surat pernyataan itu sudah dikirimkan ke parpol yang lama, dan satu lagi ada surat keterangan dari pimpinan parpol lama bahwa surat keterangannya sedang diproses, terakhir bahwa surat permohonan pengunduran diri ditetima diserahkan satu hari sebelum ditetapkan DCT" ujar Pramono.
Kepentingan Partai DiutamakanMenurut Ubed dampak dari transfer bacaleg atau kader ini dapat memiliki dampak yang cukup negatif apabila mereka berkuasa. Nantinya kader-kader transferan ini saat berkuasa atau duduk di kursi DPR dan DPRD pada akhirnya hanya memenuhi kepentingan partainya saja.
Rakyat, kata Ubed, tidak lagi dipikirkan karena kadernya sudah menjadi komoditas dan sumber daya politik partai. Pada akhirnya berujung pada merusak demokrasi.
"Anggota DPR yang transferan ini dia tidak akan memperjuangkan kepentingan rakyat karena takut kepada partai yang membelinya. Ketika bersidang di DPR dia hanya mengikuti petunjuk partai bukan keinginan rakyat," terang dia.
Selain itu, caleg dan partai yang berpolitik transaksional ini berpotensi untuk berprilaku koruptif saat menduduki kekuasaan.
"Ini dampaknya bisa menumbuh suburkan pola korupsi partai," ujarnya.
Sementara itu Adi menilai caleg hasil transfer belum tentu berprilaku koruptif saat terpilih. Menurut dia perilaku koruptif muncul karena ada kesempatan dan bawaan alamiah pribadi seseorang.
"Yang jelas caleg kutu lompat ini menghamba hanya pada kekuasaan. Karena banyak juga anggota dewan korup justru dari kader inti partai. Korupsi itu soal mental model dan kehendak menumpuk kekayaan sebanyak-banyaknya," kata Adi.
(sur)