Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias
Cak Imin mengibaratkan Wakil Presiden Jusuf Kalla alias JK seperti mobil Ferrari yang tak memuat banyak penumpang.
Hal itu disampaikan Cak Imin saat menanggapi pertanyaan awak media perihal peluang rivalitasnya dengan JK sebagai cawapres jika gugatan uji materi soal pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden yang tercantum dalam UU Pemilu dikabulkan.
"Pak JK itu ibarat Ferrari, barang mewah, pengalaman luar biasa, segmen pembelinya orang top-top, tapi penumpang enggak banyak," kata Cak Imin usai acara ulang tahun PKB ke-20 di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Minggu (22/7) malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika JK diibaratkan sebagai mobil ferrari, Cak Imin justru mengibaratkan PKB sebagai mobil Toyota Alphard.
Alasannya, kata Cak Imin, mobil Alphard mampu menampung lebih banyak penumpang. Dalam hal ini, adalah masyarakat Nahdlatul Ulama (NU).
"Kira-kira PKB itu Alphard lah, mewah juga, tapi isinya banyak," ujarnya.
 Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, di Surabaya, Senin (14/5). ( CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan) |
Tak hanya mengibaratkan JK dan PKB, Cak Imin juga mengomentari rival cawapresnya yang lain, Mahfud MD. Menurutnya, Mahfud itu seperti mobil Marcedes atau Mercy.
"Pak Mahfud itu Mercy lah. Memang ekskusif, cantik di sosial media, tapi penumpangnya cuma empat," sindirnya.
Soal pengajuan JK sebagai pihak terkait dalam gugatan UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK), Cak Imin menyebut hal itu sebagai hak politik.
Ia pun meminta semua pihak untuk menunggu keputusan MK perihal gugatan tersebut. "Kita tunggu saja keputusan MK," ucapnya.
Cak Imin tak risau jika MK mengabulkan gugatan tersebut. "Tambah satu lagi pesaing saya, mari kita bersaing dengan baik," aku dia.
Sebelumnya, JK mengajukan diri sebagai pihak terkait dalam gugatan uji materi Pasal 169 huruf N Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi.
Gugatan yang diajukan Perindo ini mempermasalahkan pasal tersebut yang dianggap membatasi jabatan presidensial sebanyak dua periode, baik berturut-turut maupun tidak. Hal ini dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
(arh)