Jakarta, CNN Indonesia -- Kuasa hukum Sjamsul Nursalim, Otto Hasibuan, meminta pemerintah menjelaskan keputusan penyelesaian utang
Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Otto, masalah utang tersebut sudah selesai sejak ditandatanganinya Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) pada 21 September 1998. Sjamsul sendiri merupakan pemegang saham BDNI.
"Sebenarnya harapan kami pemerintah harus berani memberikan keterangan kepada KPK apa yang sesungguhnya terjadi. Jadi tidak boleh tinggal diam," kata dia, di Jakarta, Rabu (25/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Otto mengatakan pihaknya telah bersurat kepada Presiden Joko Widodo agar memberikan penjelasan ke KPK bahwa utang BLBI terhadap BDNI sudah selesai setelah dilakukan penandatanganan MSAA dengan pemerintah sebelumnya.
Namun, kata Otto, pihak pemerintahan menolak memberikan penjelasan lembaga antirasuah lantaran khawatir dianggap melakukan intervensi terhadap proses hukum yang tengah berjalan.
"Yang kami maksud bukan intervensi, tapi memberikan klartifikasi yang sebenarnya seperti ini. Sampaikan kepada KPK bahwa pemerintah sendiri tidak punya tagihan apapapun lagi kepada Sjamsul Nursalim," ujarnya.
 Kuasa hukum Sjamsul Nursalim, Maqdir Ismail, di Jakarta, Rabu (25/7). ( CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan) |
Oleh karena itu, menurut Otto, KPK tak perlu melanjutkan proses hukum terhadap mantan Ketua BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung terkait dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul pada 2004 silam. Otto menyebut KPK harus menaati apa yang sudah dilakukan pemerintah sebelumnya.
"Karena KPK bagian dari pemerintah. Jangan sampai ada negara di dalam negara. Jangan ada pemerintah di dalam suatu negara yang berbeda-beda," kata dia.
Sementara itu, kuasa hukum Sjamsul lainnya, Maqdir Ismail, menduga kasus BLBI selalu dimainkan saat-saat menjelang pemilihan umum (Pemilu) dilaksanakan.
Maqdir mengatakan penyelidikan kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul ini mencuat setelah pergantian presiden dari Susilo Bambang Yudhoyono ke Jokowi.
"Puncak kegiatan peneyelidikan itu dilakukan pada Desember atau Oktober, pokoknya terjadinya peralihan pemerintahan Pak SBY ke Jokowi. Ketika itu lah begitu banyak dipanggil untuk didengar, dimintai keterangan mengenai masalah ini," kata dia.
Maqdir pun heran mengapa lembaga yang kini dipimpin Agus Rahardjo itu hanya mempermasalahkan SKL BLBI kepada Sjamsul. Sementara, pemberian SKL BLBI kepada para obligor yang lain tak diusut. Padahal, kata Maqdir, terdapat obligor yang lebih besar mendapat kucuran BLBI dari Sjamsul.
 Terdakwa kasus dugaan korupsi pemberian surat keterangan lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim, yang juga mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung, di Pengadilan Tipikor, Jakarta, 14 Mei. ( CNN Indonesia/Safir Makki) |
"Itu lah menjadi persoalan, bahkan ada yang lebih besar. Terus terang saya enggak tahu terhadap para pihak yang menandatangai MSAA itu," ujarnya.
KPK tengah mengusut dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul, dengan menetapkan Syafruddin Temenggung sebagai tersangka. Saat ini perkara yang menjerat Syafruddin sedang bergulir di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.
Syafruddin didakwa merugikan negara hingga Rp4,58 triliun lantaran menerbitkan SKL BLBI kepada Sjamsul pada 2004 silam. Ia didakwa bersama-sama dengan mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, Sjamsul dan istrinya Itjih Nursalim.
Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo mengaku pihaknya fokus pada pelaksanaan Instruksi Presiden Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002 yang dikeluarkan Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri, yakni proses penerbitan SKL BLBI.
"
Policy-nya sudah jelas, orang yang memenuhi syarat bisa dibeli SKL, tapi ternyata orang itu [debitur] belum memenuhi syarat," kata Agus.
(arh/gil)