Jakarta, CNN Indonesia -- Gempa bumi berkekuatan 6,4 Skala Richter yang melanda Lombok dan Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) pada Minggu (29/7) lalu menyebabkan ribuan rumah rusak. Bencana yang mengakibatkan 17 korban jiwa dan ratusan lainnya luka-luka itu mendapat perhatian dari Presiden
Joko Widodo.
Sehari setelah gempa, Jokowi langsung meninjau salah satu lokasi yang terdampak gempa cukup parah di Kabupaten Lombok Timur. Di sana dia mengunjungi salah satu lokasi pengungsian, yakni di Lapangan Madayin, Sambelia.
Mantan Gubernur DKI Jakarta ini menjanjikan bakal memberikan bantuan uang tunai sebesar Rp50 juta kepada para korban gempa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai kepala negara, Jokowi memang bertanggung jawab pada warganya yang terkena bencana, termasuk pemberian bantuan kepada korban. Di sisi lain, sebagai calon presiden petahana di
Pilpres 2019, muncul anggapan Jokowi 'curi start' atas pemberian bantuan tersebut.
Langkah Jokowi memberikan bantuan uang tunai itu dinilai sarat kepentingan jelang Pilpres 2019. Eks Wali Kota Solo itu dianggap kampanye berbungkus bantuan dari pemerintah.
Pengamat politik Universitas Padjajaran Firman Manan menilai kedudukan Jokowi saat ini memang dilematis, di satu sisi kapasitasnya sebagai kepala negara, di sisi lain berstatus sebagai kandidat calon presiden.
"Sebetulnya ini dilematis, bagaimana pun Jokowi sebagai presiden ketika warganya terkena bencana dia harus melakukan sesuatu. Kalau dia diam saja pasti juga akan diprotes," ujar Firman.
Manan menilai justru posisi Jokowi itu menguntungkannya dalam gelaran Pilpres 2019. Dia bisa bertindak dalam satu kapasitas, yakni presiden sekaligus capres.
Dia melihat Jokowi sebagai presiden bisa 'menyelipkan' program kerjanya sebagai ajang promosi capres.
Karena itu, ia tak menampik jika kemudian muncul persepsi dari publik bahwa bantuan korban gempa Lombok itu terkait kepentingan Jokowi maju pilpres. Namun, menurut Firman, hal itu sah dan tak bisa disalahkan.
"Kebetulan saja ini tahun politik sehingga muncul persepsi bahwa ini kampanye terselubung, atau curi start, itu persepsi namanya. Tidak bisa dihindari," katanya.
Namun lebih jauh Firman melihat hal tersebut justru menguntungkan Jokowi dalam Pilpres 2019. Menurutnya, pola bagi calon petahana ini juga kerap terjadi di daerah, bahkan negara lain di dunia.
"Ini justru
incumbent advantage, keuntungan yang dimiliki petahana, baik itu langsung atau tidak langsung, maupun sengaja atau tidak disengaja," tuturnya.
 Jokowi saat mengunjungi korban gempa bumi di Lombok, NTB. (ANTARA FOTO/Ahmad Subaidi). |
Keuntungan Jokowi sebagai capres petahana, lanjut Firman, juga dapat dilakukan saat cuti kampanye. Ia memprediksi Jokowi tak akan mengambil cuti penuh selama masa kampanye yang dimulai September 2018 hingga April 2019.
Apalagi jika merujuk aturan tentang pemilu, capres petahana hanya diwajibkan cuti jika berkampanye di hari kerja. Misalnya, ketika capres petahana ingin berkampanye di hari Senin, maka yang bersangkutan harus cuti di hari tersebut dan dapat melanjutkan tugasnya di hari lain.
"Itu strategi dia juga, dia tidak akan mengambil waktu cuti terlalu banyak. Ini yang namanya keuntungan petahana, ketika lawannya baru bisa janji, presiden sudah melakukan A, B, C, D," ucapnya.
Hal senada disampaikan pengamat politik Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Adi Prayitno. Ia mengatakan, bantuan tunai yang diberikan Jokowi merupakan respons biasa dari pemerintah yang diberikan pada korban gempa.
"Ini kan bencana, jangan dipolitisasi. Tidak semua hal harus dikaitkan ke politik, memang sudah selayaknya pemerintah memberi bantuan," ucap Adi.
Menurut Adi, pemberian bantuan itu baru dilarang jika di dalamnya Jokowi menyelipkan logo partai atau bahkan foto diri sebagai ajang kampanye terselubung.
Kendati demikian, Adi mengakui posisi Jokowi sebagai presiden maupun capres petahana memang dilematis. Alih-alih menguntungkan, kata dia, hal itu justru menjadi cacat sikap yang menempel dari sosok petahana.
"Sosok Jokowi ini jadi terbelah, satu sisi dia presiden, tapi di sisi lain dia juga calon. Secara alamiah ini cacat bawaan petahana, ada split personality," katanya.
Nantinya, lanjut Adi, di masa cuti kampanye Jokowi harus tetap menempatkan diri sebagai capres dan melepaskan posisinya sebagai presiden untuk sementara.
"Artinya dia jadi rakyat biasa dan tidak boleh menggunakan fasilitas kenegaraan," tuturnya.
(osc/gil)