Jakarta, CNN Indonesia -- Ketua Dewan Pembina Partai Hanura Wiranto enggan mencampuri perseteruan Mahkamah Konstitusi dengan Ketum Hanura Oesman Sapta Odang.
"Itu urusannya Pak OSO, bukan urusan saya," kata Wiranto saat ditemui di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (2/8).
Mantan Panglima ABRI itu mengaku enggan mencampuri urusan internal Partai Hanura sejak diangkat oleh Presiden Jokowi menjadi Menteri Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) pada 2016.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal itu ia lakukan untuk menghindari adanya konflik kepentingan antara tugasnya sebagai menteri jika terlalu mencampuri lebih jauh urusan internal Partai Hanura.
"Nanti ada satu irisan-irisan yang menjadi bagian [jika mencampuri Hanura] yang disebut dengan
conflict of interest," kata Wiranto.
Wiranto menyerahkan kewenangan sepenuhnya kepada OSO dan jajaran DPP Hanura lainnya untuk mengurus dan mengatasi persoalan internal partai.
Ia mengatakan saat ini dirinya tengah berkonsentrasi untuk menyelesaikan masa jabatannya sebagai Menkopolhukam dalam rangka mengatasi berbagai persoalan dan masalah yang tengah dihadapi bangsa Indonesia.
"Saya sudah menyerahkan kepada ketua umum di sana, atasi semua permasalahan partai, saya lagi ngurus Polhukam, partai diurus pak OSO," katanya.
 Ketua Umum Hanura Oesman Sapta Odang. (CNN Indonesia/Andry Novelino) |
Polemik Aturan DPDPakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Jabatan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) tidak diisi oleh pengurus partai politik sudah tepat.
"Memang saya menganggap putusan (perkara terkait) DPD itu benar karena memang
double representation," ujar Refly di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (2/8).
Namun, kata Refly putusan tersebut masih memiliki celah kelemahan karena MK hanya melarang pengurus atau fungsionaris. MK tidak melarang anggota partai untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD.
"Kan anggota juga harus dihitung (bagian dari parpol)," kata Refly.
Nantinya hal itu akan berdampak pada komposisi di MPR, sebab Ketua DPD mendapat jatah sebagai pimpinan MPR. Komposisi pimpinan MPR terdiri dari dua unsur, yakni unsur legislatif yang merupakan anggota partai politik di parlemen dan unsur senat yang merupakan anggota DPD sebagai perwakilan daerah nonpartai politik.
Masih terbukanya peluang bagi anggota partai menduduki jabatan di DPD berpotensi menggerus perwakilan daerah secara perseorangan atau non partai politik. Dengan demikian, MPR akan didominasi orang-orang yang berasal dari partai politik.
"Kenapa putusan MK masih memberi ruang pada anggota partai politik. Kan (dalam putusan) hanya fungsionaris dan pengurus yang dilarang," kata Refly.
 Pengamat hukum tata negara Refly Harun (CNN Indonesia/ Safir Makki) |
MK dalam putusan nomor perkara 30/PUU-XVI/2018 menyatakan bahwa DPD tidak boleh diisi pengurus parpol. Dengan demikian, seseorang yang mendaftarkan diri menjadi calon anggota DPD untuk pemilu 2019 harus mengundurkan diri dari kepengurusan parpol. Jika tidak, jabatannya di DPD inkonstitusional. MK tidak menyatakan seorang calon anggota DPD harus keluar dari keanggotaan partai.
Putusan MK ini mendapat reaksi keras dari partai Hanura. Wakil Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Benny Rhamdani menuding putusan MK bernuansa politis karena beberapa alasan.
Salah satunya, menurut dia, putusan tersebut dikeluarkan sehari jelang penutupan pendaftaran calon anggota DPD ke KPU. Pihaknya berencana melaporkan Hakim Konstitusi Mahkamah Konstitusi (MK) kepada Dewan Etik MK.
Selain itu, Ketua Umum Oesman Sapta Odang alias Oso juga bereaksi keras atas putusan MK. Bahkan, Oso melontarkan ucapan kasar kepada MK.
"MK itu goblok! Kenapa? Karena dia tidak menghargai kebijakan yang telah diputuskan oleh siapa, oleh KPU. Kan itu porsinya KPU, bukan porsinya MK," kata Oso dalam wawancara di salah satu stasiun televisi swasta.
Menanggapi pernyataan OSO, MK melayangkan Somasi pada Selasa (31/7) siang. MK menilai pernyataan OSO telah merendahkan harkat, martabat dan kehormatan MK serta para hakim di dalamnya.
Oso pun membalas somasi itu pada sore hari melalui surat yang diantar oleh salah satu staf khususnya.
"Saya sih mau aja minta maaf. Cuma minta maaf apa susahnya. Tapi mana yang lebih berat? Goblok atau pelecahan Undang-Undang," cetus Oso, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (1/8).
(ugo/gil)