Jakarta, CNN Indonesia -- Bupati nonaktif Hulu Sungai Tengah
Abdul Latif dituntut delapan tahun penjara dan denda Rp600 juta subsider 6 bulan kurungan oleh jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Abdul dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan menerima uang suap sebesar Rp3,6 miliar.
"Kami menuntut supaya majelis hakim menyatakan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan korupsi," ujar jaksa Kresno Anto Wibowo di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (6/8).
Dalam pertimbangan jaksa, Abdul dianggap tak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi, telah menciderai amanat rakyat selaku kepala daerah, tak jujur dan berbelit-belit. Meskipun, ia menyesali perbuatannya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Abdul dinilai terbukti menerima suap Rp3,6 miliar dari Direktur PT Menara Agung Pusaka, Donny Witono yang merupakan salah satu kontraktor di Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan.
Uang tersebut diberikan lantaran Abdul telah membantu PT Menara Agung Pusaka memenangkan lelang dan mendapatkan proyek pekerjaan pembangunan ruang perawatan kelas I, II, VIP dan super VIP di RSUD H Damanhuri Barabai tahun anggaran 2017.
Abdul selaku orang nomor satu di Hulu Sungai Tengah meminta agar Donny menyediakan
fee sebesar 10 persen dari nilai kontrak jika perusahaannya ingin dimenangkan. Namun, Donny menawar agar
fee itu diturunkan menjadi 7,5 persen.
Setelah terjadi kesepakatan, PT Menara Agung Pusaka dinyatakan sebagai pemenang lelang. Sebagai kelanjutan atas kesepakatan, terdakwa memberikan dua lembar bilyet giro kepada Fauzan Rifani pada April 2017.
Pencairan kemudian dilakukan dalam dua tahap, pertama sebesar Rp 1,8 miliar setelah pencairan uang muka proyek dan kedua sebesar Rp1,8 miliar setelah pekerjaan selesai.
Cabut Hak PolitikSelain itu tuntutan kurungan badan, jaksa KPK juga menuntut agar majelis hakim mencabut hak politik Abdul selama lima tahun setelah selesai menjalani hukuman penjara.
"Menuntut hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama lima tahun setelah selesai menjalani pidana pokok," ujar jaksa Kresno.
Abdul saat melakukan tindak pidana korupsi ini masih aktif menjabat sebagai bupati. Pencabutan hak politik tersebut dilakukan agar masyarakat tak memilih mantan koruptor sebagai pejabat publik.
"Untuk melindungi masyarakat agar tidak memilih pejabat yang koruptif, perlu ada pencabutan hak politik, hak dipilih dalam jabatan publik setelah selesai menjalani pidana pokok," kata jaksa M Takdir Suhan.
Abdul dinilai melanggar Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
(ugo/kid)