
HUT KE-73 RI
Jenderal TB Simatupang dan 'Perkelahiannya' dengan Sukarno
Kustin Ayuwuragil, CNN Indonesia | Jumat, 17/08/2018 16:40 WIB

Jakarta, CNN Indonesia -- Nama salah satu pahlawan nasional, Letjen TNI (Purn) Tahi Bonar Simatupang, dan jasa-jasanya kurang akrab di telinga warga. Lain halnya jika disebutkan nama jalan di sejumlah di kota besar.
Ya, dia TB Simatupang alias Bonar, yang punya peran besar dalam pembangunan sistem militer di awal kemerdekaan Indonesia. Bonar adalah tentara intelektual yang menyadari pertahanan sebuah negara harus kuat jika ingin lepas dari kekangan Belanda.
Bonar lahir di Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, 28 Januari 1920. Dia lahir dari pasangan Simon Simatupang yang saat itu pegawai negeri zaman Belanda (ambtenaar) dan Mina Boru Sibutar.
Ia mengenyam pendidikan SD di Pematang Siantar, Hollands Inlandsche School (HIS). Usai lulus pada 1934, dia mengikuti pendidikan di sekolah yang berada di bawah asuhan Zending, yakni Christelijke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO Kristen) di Tarutung dan Christelijke Algemene Middelbare School (AMS Kristen) di Jakarta.
Dia sebenarnya sempat ingin mengambil pendidikan kedokteran namun urung karena perhatiannya tertuju pada pendidikan militer di Koninklijke Militaire Academie (KMA) yang baru dibuka Pemerintah Belanda.
Karier Melesat
Sejak belia, bakat kritis Bonar sudah terlihat. Dalam kumpulan tulisan di buku Percakapan dengan TB Simtupang dikisahkan, Bonar pernah mendebat gurunya hingga dia diusir saat belajar sejarah di dalam kelas.
Sebabnya, Bonar menganggap sang guru yang merupakan orang Belanda terlalu merendahkan kemampuan orang Indonesia. Ia juga pernah hampir diusir oleh gurunya lantaran ketahuan membaca pembelaan Sukarno yang berjudul 'Indonesia Menggugat'.
Bonar lulus sebagai perwira dari KMA Bandung pada tahun 1942. Bonar kemudian ditugasi di bagian perhubungan Resimen 1 KNIL di Jakarta. Namun pada saat Jepang menduduki Jakarta, ia ditangkap dan ditahan di Sukabumi.
Saat keluar dari tahanan, dia kemudian bergabung dengan TNI karena kemerdekaan sudah direbut Indonesia pada 1945. Punya jabatan sebagai kapten, Bonar bertanggung jawab sebagai Asisten Kepala Bagian Organisasi Markas Tentara.
Kariernya melesat berkat Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang RI (Rera) yang dilakukan Wapres Mohammad Hatta. Pada puncak kariernya, Bonar diangakat menjadi Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP).
Ketika itu usianya baru 29 tahun. Namun, dia telah dipercaya menggantikan Jenderal Soedirman yang wafat pada Januari 1950.
Dalam buku yang ditulisnya, Laporan dari Banaran, Bonar mengisahkan perjalanannya menghadapi beberapa gerakan pemberontak dan separatis yang melakukan kekacauan selama dia bertugas sebagai KSAP.
Di antaranya adalah gerakan Andi Aziz di Makassar, Republik Maluku Selatan, dan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Kudeta Sukarno
Kendati demikian, karier militer Bonar tidak mulus. Dia pernah tak sejalan dengan Sukarno lantaran perbedaan pandangan mengenai pembubaran parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara/DPRS) pada Peristiwa 17 Oktober 1952.
"Pada waktu itu muncul isu yang menyebutkan bahwa para panglima divisi mengusulkan agar A.H. Nasution dipecat dari jabatannya sebagai KSAD," cerita sejarawan Universitas Indonesia, Iskandar.
Menurut dia, Bonar sebagai KSAP beserta Menteri Pertahan Sri Sultan HB, Kawilarang dan Nasution menghadap kepada Bung Karno untuk menanyakan kebenaran berita itu. Soekarno membenarkan adanya usulan itu.
"Kata Nasution jika memang benar ia siap dicopot demi keutuhan korp AD (Angkata Darat). Namun, Simatupang menentangnya. Dalam militer sangat berbahaya jika setiap usulan panglima diterima oleh presiden. Apa jadinya jika KSAD lengser karena usul panglima divisi?" katanya.
"Nanti panglima divisi turun pula dari jabatannya karena para komandan batalyon mengusulkan untuk diganti dan seterusnya," imbuh dia.
Pada peristiwa 17 Oktober 1952, demonstrasi massa dan mahasiswa menuntut pemilu yang tertunda-tunda. Mereka ingin DPRS diganti yang baru.
Demonstrasi itu disebut direncanakan oleh Mabes TNI karena Kepala Staf TNI Angkatan Darat dan tujuh panglima daerah menganggap DPRS terlalu ikut campur urusan internal Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).
Sebagian orang menganggap Bonar ikut dalam setengah kudeta pada Sukarno. Namun, Iskandar menyatakan bahwa KSAP yang dipimpin Bonar tidak mempunyai pasukan atau garis komando kepada pasukan.
"Yang punya garis komando kepada pasukan adalah para panglima divisi. Padahal Simatupang justru menentang tuntutan para panglima divisi dan Bung Karno," lanjutnya.
Namun pertikaian sengit Bonar dan Soekarno berujung pada dihapusnya jabatan KSAP pada akhir tahun 1953. Bonar lantas diangkat menjadi Penasihat Menteri Pertahanan dan mengajar di SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, sekarang Seskoad, dan Akademi Hukum Militer/AHM).
Pensiun Dini
Kariernya sebagai penasihat militer tak terlalu lama. Bonar dipensiunkan dari dinas militer pada 21 Juli 1959 dalam usia 39 tahun dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal.
Selepas pensiun, Bonar tetap aktif dalam kegiatan keagamaan seperti menjabat sebagai Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Ketua Majelis Pertimbangan PGI, Ketua Dewan Gereja-Gereja Asia, Ketua Dewan Gereja-Gereja se-Dunia.
Dia juga pernah menjadi Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia dan Ketua Yayasan Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM). Bonar yang gemar membaca buku ini akhirnya dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Tulsa, Oklahoma, Amerika Serikat pada 1969.
Suami dari Sumiarti Budiardjo itu menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 70 tahun di Jakarta pada 1 Januari 1990. Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Lima tahun kemudian, Pemerintah RI menganugerahi tanda jasa Bintang Mahaputra Adipradana padanya. Namun Bonar baru mendapatkan gelar pahlawan pada November 2013 di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY
Pada tahun 2016, Bonar menjadi satu dari 12 pahlawan nasional yang sosoknya tergambar di uang pecahan rupiah. Bank Indonesia memutuskan bahwa wajah Bonar muncul di uang logam Rp500. (arh/sur)
Ya, dia TB Simatupang alias Bonar, yang punya peran besar dalam pembangunan sistem militer di awal kemerdekaan Indonesia. Bonar adalah tentara intelektual yang menyadari pertahanan sebuah negara harus kuat jika ingin lepas dari kekangan Belanda.
Bonar lahir di Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara, 28 Januari 1920. Dia lahir dari pasangan Simon Simatupang yang saat itu pegawai negeri zaman Belanda (ambtenaar) dan Mina Boru Sibutar.
Ia mengenyam pendidikan SD di Pematang Siantar, Hollands Inlandsche School (HIS). Usai lulus pada 1934, dia mengikuti pendidikan di sekolah yang berada di bawah asuhan Zending, yakni Christelijke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO Kristen) di Tarutung dan Christelijke Algemene Middelbare School (AMS Kristen) di Jakarta.
Dia sebenarnya sempat ingin mengambil pendidikan kedokteran namun urung karena perhatiannya tertuju pada pendidikan militer di Koninklijke Militaire Academie (KMA) yang baru dibuka Pemerintah Belanda.
Karier Melesat
Sejak belia, bakat kritis Bonar sudah terlihat. Dalam kumpulan tulisan di buku Percakapan dengan TB Simtupang dikisahkan, Bonar pernah mendebat gurunya hingga dia diusir saat belajar sejarah di dalam kelas.
![]() |
Bonar lulus sebagai perwira dari KMA Bandung pada tahun 1942. Bonar kemudian ditugasi di bagian perhubungan Resimen 1 KNIL di Jakarta. Namun pada saat Jepang menduduki Jakarta, ia ditangkap dan ditahan di Sukabumi.
Saat keluar dari tahanan, dia kemudian bergabung dengan TNI karena kemerdekaan sudah direbut Indonesia pada 1945. Punya jabatan sebagai kapten, Bonar bertanggung jawab sebagai Asisten Kepala Bagian Organisasi Markas Tentara.
Kariernya melesat berkat Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang RI (Rera) yang dilakukan Wapres Mohammad Hatta. Pada puncak kariernya, Bonar diangakat menjadi Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP).
Ketika itu usianya baru 29 tahun. Namun, dia telah dipercaya menggantikan Jenderal Soedirman yang wafat pada Januari 1950.
Dalam buku yang ditulisnya, Laporan dari Banaran, Bonar mengisahkan perjalanannya menghadapi beberapa gerakan pemberontak dan separatis yang melakukan kekacauan selama dia bertugas sebagai KSAP.
Di antaranya adalah gerakan Andi Aziz di Makassar, Republik Maluku Selatan, dan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
![]() |
Kendati demikian, karier militer Bonar tidak mulus. Dia pernah tak sejalan dengan Sukarno lantaran perbedaan pandangan mengenai pembubaran parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat Sementara/DPRS) pada Peristiwa 17 Oktober 1952.
"Pada waktu itu muncul isu yang menyebutkan bahwa para panglima divisi mengusulkan agar A.H. Nasution dipecat dari jabatannya sebagai KSAD," cerita sejarawan Universitas Indonesia, Iskandar.
Menurut dia, Bonar sebagai KSAP beserta Menteri Pertahan Sri Sultan HB, Kawilarang dan Nasution menghadap kepada Bung Karno untuk menanyakan kebenaran berita itu. Soekarno membenarkan adanya usulan itu.
![]() |
"Nanti panglima divisi turun pula dari jabatannya karena para komandan batalyon mengusulkan untuk diganti dan seterusnya," imbuh dia.
Pada peristiwa 17 Oktober 1952, demonstrasi massa dan mahasiswa menuntut pemilu yang tertunda-tunda. Mereka ingin DPRS diganti yang baru.
Demonstrasi itu disebut direncanakan oleh Mabes TNI karena Kepala Staf TNI Angkatan Darat dan tujuh panglima daerah menganggap DPRS terlalu ikut campur urusan internal Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI).
![]() |
"Yang punya garis komando kepada pasukan adalah para panglima divisi. Padahal Simatupang justru menentang tuntutan para panglima divisi dan Bung Karno," lanjutnya.
Namun pertikaian sengit Bonar dan Soekarno berujung pada dihapusnya jabatan KSAP pada akhir tahun 1953. Bonar lantas diangkat menjadi Penasihat Menteri Pertahanan dan mengajar di SSKAD (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, sekarang Seskoad, dan Akademi Hukum Militer/AHM).
Pensiun Dini
Kariernya sebagai penasihat militer tak terlalu lama. Bonar dipensiunkan dari dinas militer pada 21 Juli 1959 dalam usia 39 tahun dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal.
Dia juga pernah menjadi Ketua Yayasan Universitas Kristen Indonesia dan Ketua Yayasan Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen (IPPM). Bonar yang gemar membaca buku ini akhirnya dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Tulsa, Oklahoma, Amerika Serikat pada 1969.
Suami dari Sumiarti Budiardjo itu menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 70 tahun di Jakarta pada 1 Januari 1990. Jasadnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
![]() |
Pada tahun 2016, Bonar menjadi satu dari 12 pahlawan nasional yang sosoknya tergambar di uang pecahan rupiah. Bank Indonesia memutuskan bahwa wajah Bonar muncul di uang logam Rp500. (arh/sur)
TOPIK TERKAIT
ARTIKEL TERKAIT
LIHAT SEMUA
Berita Daerah Terbaru
LAINNYA DI DETIKNETWORK
TERPOPULER

Ditembak Mati, 6 Laskar FPI Jadi Tersangka Kasus Penyerangan
Nasional • 4 jam yang lalu
Tiga Polisi Jadi Terlapor Kasus Unlawfull Killing Laskar FPI
Nasional 3 jam yang lalu
Saksi Ungkap Keluhan Anak Buah Juliari soal Uang Operasional
Nasional 1 jam yang lalu