Jakarta, CNN Indonesia -- Seorang doktor dengan keahlian di bidang militer lahir pada 12 Mei 1912 di Keka pulau Rote sebagai anak ke 4 dari 6 putra-putri pasangan Daniel Abia Johannes dan Aranci Dirk. Dia adalah
Herman Johannes yang kelak jadi pahlawan nasional.
Jo, begitu sapaannya, dikenal karena jasa-jasanya sejak masa perjuangan merebut kemerdekaan. Sedari muda, Jo selalu menghabiskan waktunya untuk mengabdi bagi negara melalui bidang iptek, politik, hingga perjuangan bersenjata.
Dia meninggalkan desa dan Sekolah Melayu yang hanya diikutinya selama setahun agar dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu pada Europesche Lagere School (ELS) di Kupang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski ayahnya memiliki gaji pas-pasan sebagai guru desa dan guru agama, Jo belia berangkat ke Makassar untuk melanjutkan pendidikannya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan kemudian dilanjutkan ke AMS (Algemeene Middelbare School) di Batavia.
Tolak Beasiswa Belanda
AMS dapat diselesaikannya tepat waktu dengan memperoleh nilai tertinggi. Jo kemudian mendapatkan beasiswa ke Technische Hooge School di Bandung tahun 1934. Namun dia baru dapat menyelesaikan sekolah itu pada tahun 1946 di Sekolah Tinggi Tehnik Bandung karena faktor keamanan. Sekolahnya sementara waktu diungsikan ke Yogyakarta.
Saat berkuliah, Jo memanfaatkan waktunya untuk belajar, berorganisasi atau menulis karya ilmiah. Karyanya pernah mendapat perhatian besar dari pimpinan fakultas dan kalangan akademisi sehingga lolos seleksi untuk dimuat dalam majalah De Ingenieur in Nederlandsch Indie.
 Ilustrasi dokter. ( pixabay/valelopardo) |
Kemampuannya itu juga diapresiasi dengan imbalan penghargaan dari Koningklijk Instituut van Ingenieurs di Belanda. Meski demikian, dia selalu menolak beasiswa yang ditawarkan Belanda.
Karena kecerdasannya, Jo yang masih berstatus sebagai mahasiswa dipercaya menjadi dosen pada Sekolah Menengah Tinggi Jakarta, Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta, Solo dan Klaten, Sekolah Tinggi Tehnik Bandung (dalam pengungsian) di Yogyakarta, serta pada Akademi Militer di Yogya.
Di kampus, Jo kerap pula bertemu dengan pemuda-pemuda pelajar asal Timor yang bersekolah di Bandung. Lantas, dia mendirikan perkumpulan Timorsche Jongeren yang kemudian dirubah menjadi Perkumpulan Kebangsaan Timor (PKT).
Karier politik awal di PKT mengantarkannya ke Partai Indonesia Raya dan menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Peracik BomPertemuan awal militer terjadi akibat pengetahuannya di bidang fisika dan kimia. Jo seringkali dimintai pejuang untuk merakit senjata api. Dia bahkan pernah membuat detonator serta alat peledak menggunakan fasilitas laboratorium Sekolah Tinggi Kedokteran yang bebas digunakannya.
Bantuan dan keahliannya rupanya dilirik oleh Markas Teringgi Tentara di Yogyakarta. Dia kemudian diminta datang ke Yogya untuk membuka sekaligus memimpun sebuah laboratorium persenjataan.
Jo juga diangkat sebagai anggota militer dengan pangkat Mayor. Meski tak pernah berharap jadi tentara, dia menerima tanggung jawab itu demi perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Tugas utamanya adalah meracik bom. Namun, Jo tetap ikut berjuang di garis depan bersama pasukan Taruna Akademi Militer dibawah komando Kolonel Djatikusumo serta memimpin Gerakan Rakyat Indonesia Sunda Kecil (GRISK) yang dibentuk pada 4 Juni 1946.
Dia juga ikut turun pada Agresi Militer Belanda yang terjadi pada 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Pada Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak terjadi pada 19 Desember 1948, diminta Letkol Soeharto sebagai Komandan Resimen XXII TNI yang membawahi daerah Yogyakarta untuk memasang bom di jembatan keretai api Sungai Progo.
Penguasaan teori jembatan juga membuat Jo sukses menjalankan tugas tersebut. Dia juga ikut dalam Serangan Umum yang terjadi pada 1 Maret 1949 di Yogyakarta.
Setahun kemudian, Jo memutuskan untuk kembali ke kehidupan sipil. Presiden Sukarno menunjuknya sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga dalam kabinet Moh.Natsir.
Dia juga melanjutkan cita-citanya sebagai pengajar dengan pangkat Mahaguru yang disandangnya sejak tahun 1948. Ia kemudian berturut-turut dipercaya sebagai Dekan Fakultas Tehnik UGM, Dekan Fakultas Ilmu Pasti & Alam UGM dan akhirnya sebagai Rektor UGM.
Nikah saat Kepala EmpatJo adalah pribadi yang serius dan sangat fokus. Dia baru menikah di usia 43 tahun yakni pada Mei 1955 dengan putri seorang raja Rote, Attie M.G. Amalo dan dikaruniai empat anak.
Masa pensiun pun diisinya dengan berbagai kegiatan sebagai Koordinator Perguruan Tinggi DIY-Jawa Tengah, Ketua Regional Science and Development Center Yogyakarta, Anggota Dewan Pertimbangan Agung, Anggota Komisi Empat (Tim Pemberantasan Korupsi), anggota Majelis Bahasa Indonesia-Malaysia, anggota Dewan Riset Nasional, Pengurus Legiun Veteran Pusat dan lainnya.
 Presiden Joko Widodo (kanan) memberikan penghargaan Satya Lencana Bakti Praja Nugraha, kepada para kepala daerah, di Istana Negara, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (28/4). ( ANTARA FOTO/Ismar Patrizki) |
Universitas Gajah Mada juga memberikan Gelar Doktor Honoris Causa, sementara Sultan Hamengku Buwono IX menganugerahinya penghargaan. Keluarga Alumni Tehnik Gajah Mada (KATGAMA) akhirnya memberikan sebuah jalan dengan namanya.
Sementara itu, Pemerintah Republik Indonesia menganugerahinya Bintang Gerilya, Satya Lencana Pejuang Kemerdekaan, Satya Lencana Wirakarya, Bintang Mahaputera, dan Bintang Legiun Veteran.
Melalui Keputusan Presiden RI no. 80 tahun 1996 nama Herman Johannes diabadikan sebagai nama Taman Hutan Raya kawasan hutan Sisinemi-Sanam di Kabupaten Kupang. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahinya status Pahlawan Nasional pada 2009.
Pada 2016, Bank Indonesia memutuskan Jo sebagai satu dari 12 nama pahlawan nasional yang sosoknya terlukis di uang baru Indonesia. Sosok Jo dapat ditemukan di pecahan uang rupiah baru Rp100.
(arh/asa)