ICJR Samakan Kasus Meiliana di Medan dengan Kasus Ahok

Arif Hulwan Muzayyin | CNN Indonesia
Kamis, 23 Agu 2018 10:49 WIB
Hakim dan jaksa dinilai ICJR tidak bisa membuktikan unsur kesengajaan dalam kasus Ahok dan Meilana.
Aksi massa menolak Ahok, di Jakarta, 2017. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengatakan kasus Meiliana yang divonis bersalah akibat protes volume pengeras suara masjid tak beda dengan kasus penodaan agama yang terjadi pada Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

Sebab, kasus-kasus itu terjadi akibat pemanfaatan pasal untuk menyerang minoritas tertentu, sementara unsur kesengajaan tak bisa dibuktikan.

"Baik penuntut umum maupun hakim gagal membuktikan unsur 'dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan yang pada pokoknya bersifat permusuhan'," ucap Direktur Eksekutif ICJR Anggara, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (23/8), mengutip bunyi pasal 156a itu.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Implementasi pasal ini cenderung digunakan dalam konteks menyerang kelompok minoritas agama tertentu, salah satunya seperti yang terjadi pada kasus Ahok beberapa waktu lalu," kata Anggara.

Menurut Anggara, pasal 156a KUHP itu tak dirumuskan dengan ketat dan membuka ruang bagi minoritas untuk terus tertindas.

"Pasal penistaan agama selalu digunakan dalam konteks terdakwa atau terpidana dianggap menista agama dalam posisi mayoritas," imbuhnya.

Padahal, menurut Anggara, kelompok minoritas, termasuk dalam hal kemerdekaan untuk berpendapat, seharusnya dilindungi perundangan.

Selain itu, pasal 20 ayat (2) Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang sudah diratifikasi Indonesia menyebutkan bahwa salah satu bentuk perlindungan beragama adalah pelarangan tindakan penghasutan, permusuhan dan kekerasan yang menghasilkan diskriminasi atas dasar kebangsaan, ras atau agama.

Selain itu, dalam Komentar Umum Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik No. 34 diserukan pula bahwa delik penghinaan bukan merupakan ranah hukum pidana dalam konteks kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Sementara, KUHP dan Rancangan KUHP tetap menampung delik penghinaan terhadap agama.

"Hukum pidana tentang penghinaan tidak boleh digunakan untuk melindungi suatu hal yang sifatnya subjektif, abstrak dan merupakan suatu konsep seperti negara, simbol nasional, identitas nasional, kebudayaan, pemikiran, agama, ideologi dan doktrin politik," tutur Anggara.

Meiliana divonis 18 bulan penjara karena terbukti melakuan penodaan agama karena mempermasalahkan volume suara azan di masjid Al-Makhsum yang ada di sekitar tempat tinggalnya.

Diketahui, Ahok divonis berslah dalam kasus penodaan agama dalam kasus Al Maidah ayat 51 saat bicara di sebuah acara Pemprov DKI Jakarta, di Kepulauan Seribu, beberapa waktu lalu.

Kasusnya mencuat setelah potongan video acara tersebut diberi teks oleh Buni Yani dan rangkaian protes gerakan 212.

(sur)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER