Jakarta, CNN Indonesia -- Desakan penetapan status bencana nasional usai
gempa Lombok, Nusa Tenggara Barat, dinilai sarat politisasi. Pengamat Politik LIPI Wasisto Raharjo Jati menyebut wacana itu dijadikan alat kritik oleh pihak oposisi.
"Itu dipolitisasi untuk dijadikan alat kritik. Selama ini politisi dari oposisi kalau dilihat memang lebih banyak mengkritik bahkan cenderung mempolitisasi, ketimbang benar-benar terjun memberikan bantuan," kata Wasisto kepada
CNNIndonesia.com, Jumat (24/8).
Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho sebelumnya juga memiliki pandangan yang sama. Menurutnya, wacana penetapan bencana nasional di Lombok cenderung dipolitisasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Wasis menyebut salah satu politisasi itu karena bencana dikaitkan dengan azab terhadap Gubernur NTB Tuan Guru Bajang yang mendukung Joko Widodo di pilpres 2019. TGB sebelumnya merupakan kader Partai Demokrat yang kini berada di kubu Prabowo Subianto.
"Isu ini dieksploitasi untuk mendapatkan perhatian dari dunia internasional jika ditetapkan sebagai bencana nasional, kemudian nanti akan dicari kesalahan-kesalahan kecilnya yang teknis. Misalnya, bantuan yang lambat dan lainnya," ujarnya.
Wasis berpendapat politisasi itu bisa menjadi bumerang bagi oposisi. Sebab Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah beberapa kali ke Lombok.
Selain itu, Jokowi juga sudah meneken instruksi presiden mengenai rehabilitasi dan pemberian bantuan kepada masyarakat pascagempa di Lombok. Inpres itu dijadikan payung hukum penanganan dampak gempa Lombok secara nasional.
Meski demikian, Wasis menilai Inpres itu tak akan membungkam politisasi bencana Lombok. Menurutnya, oposisi kini sedang mengeksploitasi isu kurangnya logistik untuk korban meski Inpres telah turun.
"Saya kira arahnya sekarang fokus ke jumlah dana. Kubu oposisi ini berupaya bagaimana jumlah alokasi dana terlalu kecil terhadap skala yang lebih besar. Ini titik sentralnya. Mereka menautkan titik nasional yang sekiranya membutuhkan dana yang besar," kata Wasis.
Seorang pengungsi mengajar anaknya mengaji di tenda darurat tempat pengungsian korban gempa bumi di Tanjung, Lombok Utara, NTB. (ANTARA FOTO/Zabur Karuru) |
Sementara itu, pengamat politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menilai inpres tersebut merupakan pilihan yang sangat strategis dan solutif.
Selain menjadi landasan hukum bagi kementerian dan lembaga dalam menangani dampak gempa, inpres itu juga menunjukkan kemandirian Indonesia dalam penanganan bencana. Menurutnya, bantuan luar negeri untuk korban gempa tetap tidak gratis.
"Inpres ini menurut saya, bisa menjadi landasan hukum mengalokasikan dana APBN dalam rangka menangani berbagai dampak akibat gempa, secara optimal," kata Emrus.
Pilihan itu menurutnya lebih baik daripada menetapkan status bencana nasional. Sebab, tak akan ada penetapan larangan kunjungan ke Indonesia sehingga roda perekonomian tetap bisa berjalan.
"Dengan inpres ini, pengelolaan pariwisata di Lombok dan sekitarnya, misalnya, dipastikan tidak terjadi
travel ban ke Lombok sehingga tidak terjadi trauma bagi pelaku industri pariwisata," imbuhnya.
Inpres itu juga memungkinkan percepatan rekonstruksi infrastruktur serta fasilitas pariwisata di semua destinasi wisata di Lombok.
Selain itu, inpres juga dapat meningkatkan koordinasi dan sinergi antarpemangku kepentingan industri pariwisata. Emrus menilai bisa jadi fasilitas umum bidang pariwisata akan lebih baik ke depan di Lombok.
Dia menyarankan pembuatan inpres untuk penanganan pascabencana dapat dilanjutkan di kemudian hari.
(pmg/gil)