Jakarta, CNN Indonesia --
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Sa'adi meminta kepada semua pihak agar memahami permasalahan yang melibatkan Meiliana sebelum berkomentar. Hal itu perlu dilakukan demi menghindari gesekan di masyarakat.
"MUI menyesalkan banyak pihak yang berkomentar tanpa mengetahui duduk perkara yang sebenarnya sehingga pernyataannya bias dan menimbulkan kegaduhan dan pertentangan di tengah-tengah masyarakat," ujar Zainut melalui keterangan tertulis, Jumat (24/8).
Zainut menjelaskan bahwa Meiliana divonis bersalah bukan hanya karena mengeluhkan suara azan yang berasal dari masjid sekitar rumahnya. Zainut yakin Meiliana tidak akan divonis melakukan penodaan agama jika hanya mengeluhkan suara azan yang dianggap terlalu keras.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tetapi sangat berbeda jika keluhannya itu dengan menggunakan kalimat dan kata-kata yang sarkastik dan bernada ejekan, maka keluhannya itu bisa dijerat pasal tindak pidana penodaan agama," imbuh Zainut.
Zainut mengatakan Kasus Meiliana serupa dengan Rusgiani (44) yang dipenjara 14 bulan karena menghina agama Hindu. Ibu rumah tangga itu, lanjutnya, menyebut canang atau tempat menaruh sesaji dalam upacara keagamaan umat Hindu dengan kata-kata najis.
"Dan juga kasus Saudara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) di Jakarta," ujar Zainut.
Zainut menegaskan bahwa kasus Meiliana cenderung sensitif karena bersinggungan dengan agama. Masyarakat, kata Zainut, dapat dengan mudah terprovokasi.
Karenanya, Zainut mengimbau agar masyarakat bersikap arif dan bijak. Dia meminta semua pihak tidak melontarkan pernyataan yang berpotensi menghasut masyarakat untuk melawan putusan pengadilan.
Apalagi, lanjutnya,jika pernyataannya itu tidak didasarkan pada bukti dan fakta persidangan yang ada. Zainut meminta kepada semua pihak untuk menghormati putusan
Pengadilan Negeri Medan yang memvonis Meiliana penjara selama 18 bulan karena tuduhan melakukan penodaan agama.
Selain itu, Zainut berharap masyarakat mengambil hikmah dari setiap permasalahan yang berkaitan dengan perbedaan di masyarakat. Semua itu demi kehidupan yang rukun dan harmonis.
"Bahwa dalam sebuah masyarakat yang majemuk dibutuhkan kesadaran hidup bersama untuk saling menghomati, toleransi dan sikap empati satu dengan lainnya, sehingga tidak timbul gesekan dan konflik di tengah-tengah masyarakat," ujar Zainut.
(dal/gil)