Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Sutopo Purwo Nugroho menyampaikan
tradisi gawai serentak di Kalimantan Barat tak ada kaitannya dengan kebakaran hutan dan lahan.
Hal ini mengklarifikasi keterangan pers sebelumnya yang dikeluarkan BNPB. Sutopo menyebut masyarakat di Kabupaten Sanggau, Sambas, Ketapang, Kubu Raya dan lainnya memiliki tradisi "gawai serentak" yaitu kebiasaan persiapan musim tanam dan membuka lahan dengan cara membakar.
Namun Sutopo menyatakan tidak bermaksud menghina atau mencap tradisi gawai sebagai penyebab semakin banyaknya kabut asap. Menurutnya, kebiasan membakar lahan atau ladang milik masyarakat setempat merupakan pelanggaran hukum.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia menyampaikan hal itu berdasarkan data Satgas Penegakkan Hukum Polda Kalimantan Barat. Dalam kasus ini, polisi telah menangani 19 kasus dengan jumlah tersangka 26 orang, serta motif para tersangka yang ditetapkan pihak berwenang.
"Atas nama pribadi dan sebagai Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Saya mohon maaf kepada masyarakat Dayak di seluruh Indonesia atas kekhilafan penulisan yang mengakibatkan penafsiran yang salah," kata Sutopo dalam keterangan tertulis yang diterima
CNNIndonesia.com, Rabu (29/8).
Meskipun Sutopo telah meminta maaf kepada publik atas kekkhilafannya terkait tradisi gawai serentak namun tetap dirinya tetap mendapat somasi.
"Saya sudah minta maaf, tapi tetap disomasi," katanya.
Sutopo mengatakan informasi mengenai tradisi gawai serentak diperoleh dari membaca laporan yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK).
Sesuai laporan yang diterbitkan di situs KLHK, pada Minggu 12 Agustus 2018, Desa Rawak Hilir, Kabupaten Sekadau masih menerapkan tradisi "gawai serentak" saat membuka lahan. Di Kalimantan sendiri pembukaan lahan dengan cara dibakar dianggap sebagai salah satu penyebab utama kebakaran hutan dan lahan.
Pemadam kebakaran menyemprotkan air ke hutan yang terbakar di kawasan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya, Kalbar. (ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang) |
Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan KLHK Raffles B. Panjaitan mengatakan kelalaian dalam membuka lahan dengan cara dibakar bisa berkembang menjadi bencana karhutla.
"Otomatis kalau dibakar serentak pada saat yang sama, jadi banyak asap, itu yang terjadi kemarin, apalagi kalau bakarnya di gambut," kata Raffles kepada
CNNIndonesia.com.
Raffles menyatakan selama ini pihak KLHK sudah sosialiasi bahaya membuka lahan dengan cara membakar. Namun menurutnya pemerintah daerah juga harus mengantisipasi agar tradisi itu bisa diinventarisasi.
Terkait respons masyarakat yang tak setuju bahwa gawai serentak memicu karhutla di Kalimantan, Raffles menilai sah saja berpendapat demikian. Dia menduga mereka adalah pihak yang tak membakar lahan secara serentak.
"Tapi faktanya seperti itu. Mungkin ada satu-dua yang enggak setuju, enggak serentak, membakar sendiri atau tidak membakar, bisa saja dia komplain. Ini hasil dari lapangan data-data itu," katanya.
Tradisi membuka lahan dengan membakar masih diterapkan hingga kini karena masyarakat menganggap belum ada solusi terbaik untuk menggantikan cara lama tersebut.
Namun pemerintah pusat maupun daerah telah menerbitkan peraturan serta program untuk mencegah dan mengendalikan karhutla.
Salah satu kebijakan yang mengatur pembukaan lahan dengan membakar adalah UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Pasal 69 ayat 2 tentang kearifan lokal menjelaskan, "Kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas maksimal 2 Ha per kepala keluarga untuk ditanami jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegahan penjalaran api ke wilayah sekelilingnya."
(gil)