Jakarta, CNN Indonesia -- Partai Amanat Nasional (PAN) menilai terus merosotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terjadi lantaran kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan menteri bidang ekonomi Presiden Joko Widodo. Sampai siang tadi, berdasarkan data reuters, Selasa (4/9), rupiah bergerak ke level Rp14.920 per dolar AS.
"Banyak sekali kebijakan dari menteri-menterinya itu yang sebenarnya justru menjadikan keadaan ini lebih buruk," kata Wakil Ketua Umum PAN, Didik J Rachbini lewat sambungan telepon kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (4/9).
Didik menilai salah satu penyebab terus melorotnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yakni defisit neraca perdagangan yang sudah terjadi sejak 2015.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurutnya, defisit neraca perdagangan terjadi karena nilai ekspor lebih rendah dibanding impor. Padahal, kata dia, pada era Soeharto tak pernah mengalami defisit perdagangan.
"Defisit dari perdagangan terjadi sangat besar, yang tidak pernah terjadi pada zaman Soeharto, 30 tahun itu surplus terus. Defisit transaksi dagang ekspor-impor itu surplus terus (zaman Soeharto)," ujarnya.
Pada Juli 2018 lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami defisit US$2,03 miliar. Posisi ini memburuk dibanding bulan Juni yang sempat mencatat surplus US$1,74 miliar.
Defisit neraca perdagangan itu disebabkan karena jumlah ekspor yang lebih kecil dibanding impor. Tercatat, ekspor Juli di angka US$16,24 miliar dan impornya di angka US$18,27 miliar.
Didik melanjutkan untuk menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terus naik, pemerintah harus meningkatkan ekspor guna menambah devisa. Selain itu, kata Didik di saat yang bersamaan pemerintah harus mengurangi impor.
"Memaksimalkan ekspor, enggak boleh boros dengan impor, sekarang impor boros tidak ditangani dengan baik," ujarnya.
 Politisi PAN Didik Rachbini. (CNN Indonesia/Aulia Bintang Pratama) |
Didik menyatakan salah satu langkah yang keliru dilakukan anak buah Jokowi adalah dengan melakukan impor beras sebanyak 2 juta ton. Kebijakan impor tersebut diambil oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita pada awal tahun ini.
Menurut Didik, kebijakan impor beras sebanyak 2 juta ton itu sama saja dengan mencongkel keberadaan Jokowi secara perlahan dan menjadikan keadaan ekonomi Indonesia semakin buruk.
"Jadi itu harus diminta pertanggungjawaban kepada menterinya. Dalam keadaan begini, mengimpor, ngeluarin duit banyak-banyak, itu sebenarnya membunuh diri. Dan itu presiden harus mempertanyakan kepada menteri-menterinya," tuturnya.
Dia pun bilang keadaan nilai tukar rupiah terus merosot lantaran para menteri tak mengakui kebijakan yang mereka ambil itu salah.
'Mengatakan bahwa ini aman-aman saja. Kalau aman berarti, kan, seperti kita, sakit tapi enggak tahu sakit," ujarnya.
DeindustrialisasiSenada, Sekretaris bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, Teknologi DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Handi Risza Idris menyatakan pelemahan rupiah disebabkan kenaikkan nilai impor yang lebih tinggi dari nilai ekspor.
"Akibatnya kondisi nerasa perdagangan terus tergerus. Bahkan kondisi ini telah dialami dalam beberapa tahun terakhir, semenjak tidak adanya kebijakan industri yang kuat," kata Handi saat dihubungi
CNNIndonesia.com.
"Bahkan boleh dikatakan kita mengalami deindustrialisasi," lanjutnya.
 Ilustrasi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Handi mengamini bahwa nilai ekspor memang mengalami peningkatan. Nilai ekspor Indonesia pada Juli 2018 mencapai US$18,27%. Apabila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017, nilai ekspor Indonesia pada Juli 2018 naik 19,33%.
Lalu jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, nilai ekspor Indonesia ini mengalami peningkatan 25,19% yang terdiri dari kenaikan ekspor nonmigas sebesar 31,18% dan penurunan ekspor migas sebesar 15,06%.
Akan tetapi, lanjut Handi, kenaikan nilai impor juga terus mengalami peningkatan. Bahkan lebih tinggi dari nilai ekspor.
Kata dia, data pada bulan Juli 2018 menunjukkan impor mengalami kenaikan sangat signifikan. Bila dibandingkan dengan periode yang sama pada 2017, nilai impor Indonesia naik 31,56%.
Handi mengatakan bahwa lemahnya kebijakan industri nasional yang tidak berorientasi kepada ekspor, membuat pertumbuhan ekspor Indonesia menjadi lamban. Handi menilai 16 paket kebijakan yang sudah dikeluarkan Pemerintah kurang efektif untuk mendorong ekspor.
"Pemerintahan sepertinya lebih condong pada kebijakan ekonomi yang berorientasi pada pembatasan impor," ucap Handi.
Handi mengatakan kebijakan yang berorientasi pada pembatasan impor itu justru akan menimbulkan inefisiensi pasar. Hal itu juga berdampak terhadap daya saing produk dalam negeri yang tergolong rendah.
Kebijakan pembatasan impor, lanjut Handi, akan membantu penguatan perekonomian dalam negeri. Namun, itu tidak akan tercapai apabila industri dalam negeri tidak diperkuat seperti saat ini.
"justru akan berdampak terhadap perekonomian nasional. Berbeda dengan China yang memiliki industri yang kuat dan murah sehingga siap menghadapi perang dagang (trade war)," kata Handi.
(wis/gil)