Jakarta, CNN Indonesia --
Gugatan penderita kanker payudara HER 2 positif, Juniarti kepada Presiden
Joko Widodo, Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek, Dirut BPJS Kesehatan Fachmi Idris, dan Dewan Pertimbangan Klinis saat ini masuk ke tahap mediasi.
Majelis Hakim Sidang gugatan Juniarti menunjuk Indirawati sebagai hakim mediator untuk kedua pihak. Mediasi itu akan dihadiri Juniarti dan suaminya Edy Haryadi, serta kuasa hukum. Sementara pihak tergugat dalam hal ini Jokowi, Menkes, dan BPJS diwakilkan tim kuasa hukumnya.
"Optimalkan dalam mediasi karena mewajibkan kepada para pihak untuk melakukan mediasi," kata Ketua Majelis Hakim, Mery Taat pada persidangan, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Selasa (18/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mery mengatakan mediasi ini bertujuan agar kedua belah pihak mendapatkan solusi yang sama-sama menguntungkan dan mempersingkat penyelesaian kasus ini agar tidak berlarut-larut.
"Bapak-bapak ini kan dari bidang medis setidaknya membayangkan seseorang yang kena kanker siapa tahu mendapatkan kesepakatan. Untuk ini karena para pihak sudah tahu makna mediasi biar perkara ini tidak berlarut terdapat
win-win solution saya kasih waktu untuk itu," ujar Mery.
Sementara itu, Kuasa Hukum Juniarti Rusdianto Matulatuwa mengatakan pihaknya sudah melakukan upaya pramediasi dengan para kuasa hukum tergugat sebelumnya.
"Beberapa waktu lalu dengan kuasa hukum BPJS, DPK, dan Kemenkes kita sebut pramediasi. Dalam pertemuan itu benang merahnya sama apa yang akan dibicarakan di mediasi sudah
confirm," kata Rusdianto di dalam persidangan.
Ia mengatakan dalam pertemuan pramediasi itu tidak ada hambatan dari kedua pihak perihal mediasi. Ia berharap dengan dilaksanakannya pramediasi ini, proses mediasi dapat berjalan dengan lebih cepat.
"Kalau mengacu pembicaraan kemarin tidak ada hambatan dan masalah terhadap materi kami minta memperkuat efektifitas jika boleh mediasi hari ini ketemu hakim mediator kemungkinan bisa mendapatkan hasil," ujarnya kepada Hakim Ketua.
Diketahui, kasus ini bermula saat keluarnya Surat Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan R Maya Armiani Rusady, Nomor 2004/III.2/2018 tanggal 14 Februari 2018 yang ditujukan kepada Kepala Cabang BPJS Kesehatan di seluruh Indonesia.
Surat itu berisi penghentian penjaminan terhadap obat Trastuzumab sejak 1 April 2018. Trastuzumab adalah obat sebagai obat terapi kanker HER2 Positif.
Juniarti yang terdiagnosa kanker payudara pada 10 Mei 2018 lalu dan diresepkan Trastuzumab pada 24 Juni 2018 lalu tidak bisa mengakses trastuzumab karena dia menggunakan BPJS Kesehatan. Padahal obat ini masuk dalam jenis obat yang harus diresepkan dalam Formularium Nasional tahun 2018 untuk penderita kanker HER2 positif.
Di Indonesia, Trastuzumab awalnya masuk daftar obat yang dijamin BPJS Kesehatan sesuai Keputusan Menteri Kesehatan RI tentang Formularium Nasional 2018 yang ditetapkan pada 28 Desember 2017. Namun terhitung sejak 1 April 2018, obat ini dikeluarkan dari daftar yang dijamin BPJS Kesehatan.
(sah/osc)