Jakarta, CNN Indonesia --
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menunda sidang laporan dugaan maladministrasi yang dilakukan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI atas penerbitan surat pengunduran diri dari pengurus partai.
Sebelumnya, persoalan ini dilaporkan oleh Ketua Umum Partai Hanura
Oesman Sapta Odang (OSO). Bawaslu menunda sidang hingga Rabu (26/9) karena dari pihak terlapor, yakni KPU RI, belum bisa memberikan jawaban atas permohonan yang diajukan OSO.
Anggota KPU Pramono Ubaid Tanthowi beralasan beberapa hari belakangan pihaknya sibuk mempersiapkan tahapan pemilu, sehingga belum bisa memberikan jawaban untuk sidang ajudikasi penanganan pelanggaran administrasi kali ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Maka KPU minta tambahan waktu. Karena kami menerima salinan permohonan Jumat (21/9) malam, sementara untuk Sabtu dan Minggu kami tidak fokus pada hal ini. Sehingga untuk menyusun jawaban dengan lengkap sesuai dengan fakta-fakta yang kami punya kami minta tambahan waktu," kata Pramono di kantor Bawaslu, Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (24/9)
Pramono juga mengatakan bahwa putusan dari sidang perkara ini mempengaruhi nasib OSO dalam pencalonan anggota DPD untuk pemilu 2019. Meskipun KPU sudah menetapkan daftar calon tetap (DCT) anggota legislatif yang dibacakan pada 20 September 2018, dan nama OSO tidak termasuk di dalamnya.
"Kita lihat putusan Bawaslunya bagaimana. Tapi kami berkeyakinan bahwa apa yang kami lakukan itu sudah sesuai dengan PKPU yang merujuk pada putusan MK," kata Pramono.
Sementara itu, Yusril Ihza Mahendra selaku kuasa hukum OSO mengatakan bahwa pihaknya dalam kasus ini mempersoalkan penerbitan Surat Nomor 1043/PL.01.4-SD/06/KPU/IX/2018 tertanggal 10 September 2018 oleh KPU RI.
Isi surat itu mewajibkan calon anggota DPD menyerahkan salinan Surat Keputusan Pemberhentian dan/atau Surat Pernyataan Pengunduran Diri dari kepengurusan parpol yang paling lambat diserahkan pada 19 September 2018 pukul 24.00 WIB atau satu hari sebelum penetapan daftar calon tetap (DCT).
Bila tidak diserahkan, maka nama caleg DPD tersebut tidak tercantum dalam DCT. Perihal penerbitan surat itu, KPU RI menindaklanjuti putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 pada 23 Juli 2018 lalu. Menurut Yusril KPU RI melanggar tata cara, prosedur atau mekanisme administrasi pelaksanaan Pemilu.
Menurutnya, kliennya sudah memenuhi persyaratan pencalonan sehingga nama OSO masuk dalam Daftar Calon Sementara (DCS) yang ditetapkan pada 19 Juli 2018. Namun ditengah masa DCS itu, KPU menerbitkan PKPU perubahan atas putusan MK dan menerbitkan surat kepada OSO agar melampirkan surat pengunduran diri dari parpol.
"Jadi kan pak OSO menerima surat dari KPU meminta beliau mengundurkan diri dari partai dan itu dasarnya putusan MK. Sementara Pak OSO sudah mendaftar dan dinyatakan memenuhi syarat dan dicantumkan dalam DCS," kata Yusril.
Lebih jauh menurut Yusril tidak mudah bagi seorang pengurus parpol, apalagi seorang ketua umum parpol seperti OSO, mengundurkan diri dari partai yang dipimpinnya. Berbagai tahapan yang membutuhkan waktu panjang harus dilakukan sebelum seseorang bisa melepaskan jabatan ketua umum partai.
"Pak OSO ini bukan sekadar seorang pengurus, tapi dia ketua umum partai. Ketua umum tidak bisa berhenti begitu saja. Ketum menurut AD/ART Hanura hanya bisa mundur dilakukan dalam munaslub. Jadi, kalau normal dalam munas. Tidak bisa seketika mundur begitu saja," kata Yusril.
Oleh karena itu, menurut Yusril, aturan melampirkan surat pengunduran diri dari parpol yang harus tersedia dalam rentan waktu waktu sekitar sembilan hari menjadi tidak relevan.
"Misal diminta bukti sudah mundur dari pimpinannya, lalu pimpinannya siapa? Pimpinannya beliau sendiri. Ini kan nanti menerangkan dirinya sendiri. Aneh saja. Makanya kami permasalahkan ini," kata Yusril.
Sebelumnya, pada 23 Juli 2018 MK mengeluarkan putusan nomor 30/PUU-XVI/2018 yang didalamnya mengatur larangan bagi pengurus partai politik menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
(fhr/age)