Jakarta, CNN Indonesia -- Hasil Survei yang digelar oleh
Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menyebut bahwa kasus hoaks penganiayaan
Ratna Sarumpaet membuat pasangan
Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ditinggalkan pemilih dari kalangan terpelajar dan menengah ke atas.
Penyebabnya, kaum terpelajar dan kelas menengah ke atas tak menyukai sosok yang mudah tertipu dan reaktif terhadap hoaks.
"Kalangan terpelajar dan segmen menengah ke atas kurang menyukai pemimpin yang mudah terkecoh dan reaksioner," tulis LSI Denny JA, dalam
paparan tertulis yang diterima
CNNIndonesia.com, Selasa (23/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diketahui, foto wajah lebam dan bengkak Ratna Sarumpaet beredar di media sosial pada awal Oktober. Pada 2 Oktober, aktivis #2019GantiPresiden Ahmad Dhani membenarkannya.
Malam harinya, Prabowo menggelar konferensi pers soal kasus itu di kediamannya. Saat itu, Prabowo menyebut kasus penganiayaan itu merupakan pelanggaran HAM dan tindakan pengecut.
Sebagian politikus oposisi pun mengaitkan dugaan penganiayaan itu dengan ulah rezim Joko Widodo.
 Peserta 'Solidaritas Demokrasi untuk Ibu Ratna Sarumpaet’ menunjukkan pamflet yang berisi foto wajah Ratna Sarumpaet yang bengkak, di Jakarta, Selasa (2/10). ( CNN Indonesia/Feri Agus Setyawan) |
Keesokan harinya, Ratna Sarumpaet mengaku tak dianiaya dan hanya menjalani prosedur sedot lemak di pipi kiri.
Usai kasus hoaks itu terungkap, LSI Denny JA melakukan survei terhadap 1.200 responden, pada 10-19 Oktober.
Margin of error-nya mencapai +/- 2,8 persen.
LSI Denny JA membandingkannya dari data hasil survei pada September atau sebelum kasus Ratna, dengan data hasil survei Oktober atau pascakasus hoaks itu terungkap. Selain itu, survei dampak kasus hoaks itu dibagi dalam beberapa segmen.
Pertama, efek elektoral hoaks Ratna di segmen pendidikan. Dukungan pemilih dengan tingkat pendidikan perguruan tinggi terhadap prabowo-Sandi diketahui menurun signifikan, dari yang sebelumnya (September 2018) mencapai 46,8 persen menjadi 37,4 persen (Oktober 2018).
Sebaliknya, dukungan kaum sarjana kepada Jokowi-Ma'ruf Amin meningkat dari yang sebelumnya 40,5 persen menjadi 44 persen.
Responden dengan pendidikan SD, SMP, dan SMA, pemilih Prabowo-Sandiaga naik sedikit dari yang sebelumnya 27,7 persen pada September menjadi 27,9 persen.
 Ratna Sarumpaet memakai rompi tahanan usai menjalani pemeriksaan sebagai tersangka hoaks di Dirkrimum Polda Metrojaya, Jakarta, Jumat (5/10). ( ANTARA FOTO/Reno Esnir) |
Kedua, efek elektoral di segmen pendapatan. Survei mengungkap bahwa dukungan terhadap Prabowo-Sandiaga dari responden dengan pendapatan di atas Rp3 juta menurun sugnifikan. Dari yang tadinya 42,8 persen pada September menjadi 34,5 persen pada Oktober.
Di sisi lain, dukungan pada Jokowi di kalangan menengah ke atas ini meningkat dari sebelumnya 46,2 persen menjadi 54,8 persen.
Namun, dukungan terhadap Prabowo-Sandi di kalangan dengan pendapatan Rp3 juta ke bawah meningkat dari 25,2 persen menjadi 27,1 persen. Hal yang sama terjadi pada Jokowi-Ma'ruf, yang dukungannya naik dari 55,1 persen menjadi 58,4 persen.
Ini terjadi karena kalangan menengah ke bawah yang belum memutuskan atau merahasiakan pilihannya menurun. Yakni, dari 19,7 persen menjadi 14,5 persen.
Sebelumnya, survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) terhadap 1220 responden pada 7-14 September menunjukkan bahwa elektabilitas Jokowi mencapai 60,2 persen, sementara Prabowo hanya 28,7 persen.
(arh/gil)