Jakarta, CNN Indonesia -- Pemohon gugatan
ambang batas pencapresan Effendi Ghazali menyebut logika Hakim
Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memutus untuk menolak lima gugatan terkait ambang batas itu tidak masuk akal.
Bahkan Effendi menyebut Hakim MK telah melakukan politik kebohongan dan mempraktekkan politik sontoloyo dalam memberikan putusan ambang batas presiden tersebut.
"Kurang lebih pihak kami mengatakan, jangan-jangan sebagian hakim inilah yang layak disebut melakukan kebohongan politik dan sontoloyo. Saya siap disomasi untuk hal ini," kata Effendi ditemui usai mengikuti penetapan putusan itu di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (25/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
MK memang telah memutus lima perkara mengenai UU Pemilu terkait ambang batas pencapresan. Effendi sendiri terdaftar sebagai pelapor dengan nomor perkara 54/PUU-XVI/2018.
Adapun analogi Hakim yang menurut Effendi tidak masuk akal adalah terkait sistem Pemilu Indonesia dengan sistem Pemilu Amerika Serikat (AS) yang disamakan. Hakim memang sempat mencontohkan sistem Pemilu AS untuk memperkuat putusannya. Dia pun menyebut analogi itu keliru dan sontoloyo.
"Analogi yang diambil tadi keliru total, walaupun putusannya final dan mengikat, coba bayangkan diambil contoh di Amerika Serikat," ujar Effendi.
Menurut Effendi, logika yang dijelaskan hakim MK soal
popular vote dan
electoral college dengan pemilu di Indonesia tidak memiliki hubungan dengan ambang batas pencapresan di Indonesia.
"Saya siap disomasi, ini enggak masuk akal. Pertimbangannya mengandung kebohongan dan sontoloyo," ujarnya.
Sebelumnya, MK memutus lima perkara terkait gugatan ambang batas presiden atau
presidential threshold. Kelima gugatan itu ditolak oleh Mahkamah Konstitusi.
Ketua Majelis Hakim, Anwar Usman dalam sidang putusan itu menyebut kelima gugatan ditolak setelah memeriksa berbagai fakta dan pertimbangan dari para hakim.
"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh delapan hakim anggota," kata Anwar saat membacakan putusannya di Gedung MK.
(tst/dal)