Jakarta, CNN Indonesia -- "Saya enggak akan pernah lupa (wajah) itu. Wajah orang yang kehilangan harapan. Kamu pernah lihat?" tanya Bayu saat berbincang dengan
CNNIndonesia.com di Posko
Basarnas, Tanjung Priok Jakarta, Rabu (31/10) malam.
Jam menunjukkan sekitar pukul 22.00 WIB, Bayu bersama delapan rekannya sedang mempersiapkan peralatan sambil berkoordinasi untuk melakukan penyelaman ke perairan Tanjung Pakis, Karawang, Kamis (1/11) pagi.
Pria berusia 47 tahun itu merupakan satu dari sekian banyak relawan yang datang membantu Basarnas mencari korban jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 di perairan Karawang, Senin (29/10) silam. Sejak mendengar kejadian, Bayu yang tergabung dalam Rescue Diver langsung merapat ke Posko Basarnas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seorang rekannya, Syahrul (48) menimpali pembicaraan, "Bikin enggak konsentrasi apa-apa kalau ada peristiwa kayak gini".
Peristiwa jatuhnya sebuah pesawat di laut, selalu menggugah perasaan Bayu. Ingatan mantan pegawai Angkasa Pura I itu selalu terngiang wajah-wajah keluarga korban.
Dia ingat betul ketika menjadi relawan penyelam pencarian korban jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 di perairan Karimata, 2014 silam.
Bayu sulit menggambarkan harapan keluarga korban kepadanya saat. Bayu menghela nafas, dan kemudian berkata, "Mukanya [keluarga korban] seperti orang yang enggak punya semangat hidup. Ngomongnya enggak pakai emosi. Enggak nangis juga, cuma bilang, 'tolong cari anak saya'."
Mendengar permintaan keluarga korban AirAsia QZ8501itu, Bayu menitikan air mata. "Tapi tak di depan keluarga korban," katanya.
Dia mengaku mendapat kekuatan, ketika menyelam mencari korban. Semangatnya mencari jasad jenazah seolah bertambah ketika terngiang wajah keluarga korban dan kalimat 'tolong cari anak saya' itu.
Rasa takut terhadap semua kemungkinan yang mengancam keselamatan para penyelam luntur tersapu harapan keluarga korban.
Membantu keluarga korban. Itulah yang juga menjadi alasan utama Bayu turun kembali dalam pencarian korban jatuhnya pesawat.
Selain ingin membantu keluarga korban, Bayu juga ingin keahliannya menyelam bisa berguna bagi orang lain. Tak melulu hanya memberi kesenangan untuk diri sendiri, katanya.
"Hidup itu bukan soal panjang pendeknya usia, tapi seberapa besar kita dapat membantu orang lain," kata Bayu mengutip kata-kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho.
Dia sengaja meminjam kata-kata Sutopo, karena terinspirasi dengan perjuangan Sutopo yang tetap bertugas mengawal setiap informasi bencana meskipun menderita kanker paru-paru stadium 4.
Antara Makassar dan YogyakartaLain Bayu, lain Syachrul. Kepada
CNNIndonesia.com, pria yang kerap menggunakan kacamata hitam itu bercerita langsung terbang menuju Jakarta, begitu mendengar kabar jatuhnya pesawat Lion Air JT-610.
Senin (29/10), pria berusia 48 tahun itu sedang berada di Yogyakarta untuk urusan keluarga.
"Waktu kejadian ini saya ada di Sleman. Peralatan selam ada di Makassar. Begitu ada kabar, saya langsung berangkat sini. Alat dikirim ke sini," kata Syachrul.
Relawan penyelam yang membantu Basarnas mengevakuasi korban jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat. (CNN Indonesia/Tri Wahyuni) |
Terlibat dalam penyelamatan bawah laut bukan hal baru buat Syachrul. Ia kerap ikut evakuasi di bawah air bersama rekan-rekannya yang tergabung dalam Indonesia Rescue Divers yang membantu Badan SAR Nasional (Basarnas).
Relawan, menurutnya, bekerja sukarela membantu Basarnas setiap kali dibutuhkan. Sukarela, tanpa dibayar.
Syachrul juga sempat terlibat dalam misi pencarian korban dan bangkai pesawat Air Asia yang jatuh di Selat Karimata pada 2014 lalu. Mereka juga hadir untuk membantu Basarnas.
Kurang lebih 14 hari Syachrul dan tim berada di atas kapal. Perjuangan mereka tidak sia-sia, 24 kantong jenazah berhasil mereka angkat ke atas. Bangkai pesawat pun berhasil mereka temukan dan mereka berupaya mendapatkan hasil yang sama dengan empat tahun lalu.
Namun, dalam evakuasi pencarian korban Lion Air JT-610, Syachrul belum mendapat giliran menyelam. Ia mengaku baru sebatas mendampingi tim penyelam dari Indonesia Rescue Divers di KN Sadewa milik Basarnas.
"Kalaupun saya tidak diturunkan minimal saya bisa berbagi pengalaman yang tempo hari saat turun di Karimata," ujarnya.
Buat Syachrul, menjadi relawan adalah panggilan hati. Namun, bukan juga untuk mencari kepuasan batin. Tidak pernah ada rasa puas ketika ia menuntaskan tugasnya. Yang ada hanya rasa ingin membantu keluarga yang kehilangan orang tersayang dan membuat diri lebih bermanfaat bagi sesama.
"Seiring berjalannya usia, rasa kemanusiaan muncul. Ingin ilmu yang saya punya bisa berimbas ke yang lebih luas saja. Tidak untuk diri sendiri," kata pria yang menyelam sejak remaja itu.
Meski menyumbangkan keahliannya secara sukarela, kemampuan para penyelam yang terlibat dalam evakuasi korban jatuhnya pesawat Lion Air tidak main-main. Semuanya punya kemampuan menyelam di atas rata-rata.
Bahkan, kebanyakan berstatus sebagai instruktur. Ada yang memiliki spesialisasi
technical deep dive (penyelaman dalam),
salvage dive (kemampuan menyelam untuk memperbaiki sesuatu di bawah air), hingga
wreck and cave dive (menyelam di tempat yang sempit).
Koordinasi mereka solid, begitu ada kejadian yang membutuhkan bantuan, mereka secara otomatis berkumpul. Semua persediaan di lapangan mereka siapkan sendiri, mulai dari alat selam sampai logistik.
Tak jarang mereka juga dibantu oleh relawan lainnya, seperti dalam evakuasi pesawat Lion Air JT-610 kali ini. Misalnya saja untuk penyediaan tenda dan komunikasi radio, biasanya mereka dibantu Indonesia Off Road Federation (IOF).
Walaupun latar belakang mereka berbeda, mereka bisa bekerja sama dengan baik karena tujuan mereka satu, membantu keluarga korban.
(ugo/sur)