Sebulan Kampanye Capres di Medsos: Minim Pendidikan Politik

CNN Indonesia
Selasa, 13 Nov 2018 06:02 WIB
Lembaga SatuDunia merilis data bahwa akun medsos kedua pasangan capres-cawapres pilpres 2019 masih didominasi isu agama, PKI atau komunis, dan ekonomi.
Perempuan disebut masih jadi objek di medsos di pilpres namun tidak diperhatikan. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
SatuDunia menilai dalam kampanyenya di media sosial, kedua pasangan capres tidak ada yang menyatakan tidak peduli terhadap perempuan. Bahkan ada pasangan capres yang menggunakan istilah emak-emak, sementara pasangan lainnya menggunakan istilah ibu bangsa.

"Namun secara kualitatif itu justru menegaskan perempuan tetap menjadi obyek. Bagaimana tidak, posisi perempuan dengan isu ekonomi, masih dilihat dalam kerangka peran domestiknya," ujar Firdaus.

Sementara itu, peran dan kapabilitas serta pengetahuan perempuan dalam mengatasi persoalan ekonomi tidak dimunculkan. Apalagi peran perempuan dalam pengambilan kebijakan ekonomi disebut hampir dilupakan dalam narasi kampanye masing-masing capres di media sosial.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Masing-masing tim kampanye capres, masih belum melihat persoalan perempuan secara utuh," ujar Firdaus.

"Kasus kekerasan seksual misalnya, ramai dibicarakan di media massa dan media sosial, namun tidak ditangkap oleh tim sukses untuk dijadikan isu kampanye. Padahal saat ini RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, mandeg," imbuhnya.
4. Isu Agama Masih Digunakan dalam Kampanye

Meski masing-masing capres telah berkomitmen tidak menggunakan isu SARA dalam kampanyenya, pantauan SatuDunia masih menemukan hal itu di media sosial.

"Salah satu penggunaan isu SARA yang mudah dilihat adalah penggiringan opini dalam kasus pembakaran bendera yang menurut pihak kepolisian adalah bendera HTI," kata Firdaus.

Pantauan SatuDunia, sebagian pendukung Prabowo-Sandi menggiring opini bahwa bendera yang dibakar adalah bendera tauhid dan bukan bendera HTI. Setelah itu, opini digiring bahwa pembakaran bendera itu terkait dengan Jokowi.

"Terlihatsekalibegaimana penggiringan opini bahwa pembakaranbenderaHTI digunakan untuk kepentingan politikdalampilpres 2019," katanya.

5. Fenomena ‘Membunuh Pembawa Pesan’ di Media Sosial Menguat

Dalam hal ini, SatuDunia menemukan ada pola 'membunuh' pembawa pesan dalam kampanye di media sosial. Istilah membunuh bukan dalam artian secara fisik, melainkan membuat orang yang membawa pesan menjadi bungkam dan tidak lagi bersuara.

Alhasil, label cebong dan kampret muncul terhadap orang yang mengkritik baik itu Jokowi-Ma'ruf atau Prabowo-Sandi.

"Tak peduli apakah Anda benar-benar masuk kelompok kampret atau cebong, karena itu memang tidak memerlukan pembuktian. Begitu pula berbagai makian yang menyertai label kampret atau cebong itu, tidak perlu memerlukan pembuktian," kata Firdaus.

"Kenapa demikian? Jawabnya mudah, karena pelabelan kampret atau cebong beserta kata-kata makian yang mengikutinya itu memang bukan ditujukan untuk mencari kebenaran," lanjutnya.
Dengan demikian, menurut SatuDunia, pelabelan dan kata makian itu ditujukan agar pengkritik diam dan tidak lagi mengkritik salah satu dari kedua pasangan capres itu.

Pelabelan itu juga disebut bertujuan agar pesan kritik yang disampaikan tidak dibahas menjadi perdebatan publik di media sosial.

"Istilah kerennya, mengaburkan persoalan substantif yang muncul dalam pesan itu," kata Firdaus.

6. Labeling PKI/Komunis

Dalam pemantauan SatuDunia juga masih menemukan penggunaan label PKI atau komunis untuk menyerang lawan politiknya.

Hal ini menurut SatuDunia, setelah sebagian rakyat Boyolali, Jawa Tengah memprotes pernyataan capres Prabowo Subianto yang dinilai menghina mereka, kini di sosial media muncul labeling PKI sebagai respon dari protes masyarakat tersebut.

"Munculnya penggiringan opini dengan melabel rakyat Boyolali sebagai PKI itu misalnya tampak dari akun di facebook yang menamakan dirinya Suryo Prabowo, pada tanggal 4 November 2018," ujar Firdaus.

Selain itu, FirdausdanSatuDunia juga mencatat masih belum jelasnya pembiayaan kampanye baik di media konvensional maupun di media sosial. Meski lebih murah dan efektif, saat ini di media sosial juga adabuzzer yang menjalankan kampanye.
(swo/dal)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER