Jakarta, CNN Indonesia -- Calon wakil presiden nomor urut 02
Sandiaga Uno membeli cabai saat blusukan di Pasar Baru Panam, Pekanbaru, Riau, Senin (12/11). Saat membeli cabai Sandi berseloroh akan menjejali mulut politikus yang bicara kasar dengan cabai.
"Setiap kali ada politisi bicara kasar kita
cabein mulutnya. Karena kita sekarang butuh politik yang mempersatukan bukan memecah belah," kata Sandi kepada pedagang cabai bernama Rudi, berdasarkan keterangan tertulis yang diterima
CNNIndonesia.com, Senin (12/11).
Sandi berujar bahwa menjejali mulut politikus kasar dengan cabai terinspirasi dari pengalamannya dengan ibunda, Mien Uno. Sandi bercerita ibunya biasa menjejali mulutnya dengan cabai tiap kali dirinya berbicara kasar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saya kalau melihat cabe merah seperti ini ingat bener tiap kali bicara kasar, ibu saya, Mien Uno, langsung mulut saya di-
cabein. Nah ini yang kita sebut politik cabe atau lado..." ujarnya.
Namun Sandi tidak menyebut nama politikus yang menurutnya bicara kasar.
Dalam beberapa hari terakhir panggung politik menjelang Pilpres 2019 diramaikan oleh pernyataan keras para politikus. Jokowi mengeluarkan pernyataan 'politik genderuwo' dan sontoloyo. Sementara Prabowo Subianto mengeluarkan pernyataan 'tampang Boyolali'.
Sebagian masyarakat juga menyoroti pernyataan cawapres pendamping Jokowi, Ma'ruf Amin soal 'budek' dan 'buta'.
Direktur Eksekutif New Media Watch, Agus Sudibyo menilai dua pasangan capres-cawapres yang bertarung di Pilpres 2019 belum memperkenalkan gagasan dan program yang substansial bagi publik sejak kampanye Pilpres 2019 dimulai.
Agus menilai semenjak kampanye berlangsung, yang terjadi adalah aksi dan reaksi atas wacana yang bersifat remeh, bahkan cenderung hoaks.
Kedua kubu dianggap terlalu sibuk membahas hal-hal yang bersifat sensasional. padahal, kata dia, dari riset yang dimilikinya, konten sensasional tak akan berpengaruh kepada kedua kubu dalam Pilpres.
"Hoaks yang dilempar tim Prabowo hanya mempersolid pendukung Prabowo, tidak memengaruhi pihak sana. Hoaks yang dilempar kubu Jokowi hanya mempersolid kubu mereka saja," ujar Agus dalam diskusi di kantor PARA Syndicate, Jakarta Selatan, Jumat (9/11).
Sementara Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Ari Nurcahyo menyayangkan bahasa politik yang dipakai kedua kubu seperti 'harga tempe', 'tampang Boyolali', 'sontoloyo', dan 'genderuwo' yang lebih banyak menimbulkan bising ketimbang substansi.
Dibanding kampanye Pilpres 2014, Arimenilai kualitas kampanye saat ini merosot. Pada Pilpres 2014 publik dikenalkan dengan istilah seperti tol laut, poros maritim, membangun negara dari pinggiran, hingga revolusi mental dari Jokowi.
"Itu jargon-jargon yang luar biasa, tapi sekarang enggak ada. Sampai sekarang Nawacita 2 belum tahu ngomong apa sih," tukas Ari.
(tst/wis)