Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah ahli hukum Tata Negara menyarankan Komisi Pemilihan Umum mengedepankan putusan Mahkamah Konstitusi dalam mengambil keputusan. Hal ini terkait polemik pengurus partai yang menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada Pemilu 2019.
Beberapa ahli yang hadir yaitu Jimmy Zeravianus Usfunan, Feri Amsari, dan Auliya Khasanova. Mereka berdiskusi perihal putusan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) terkait persoalan ini.
"Kami hormati putusan MA dan PTUN, tapi dalam konteks ini KPU kami sarankan lebih mengutamakan penghormatan pada putusan MK. Karena itulah yang berkaitan dengan UUD 1945," kata Ahli hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari di Gedung KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Feri mengatakan kedudukan putusan MK sederajat dengan undang-undang. Karena itu, MK juga sering disebut sebagai
negative legislator.
Jika ada persoalan terkait putusan yang saling bersinggungan meskipun diterbitkan oleh sesama lembaga peradilan, menurut Feri, maka perlu mengutamakan putusan MK. Karena jika tidak demikian, justru sama seperti mengabaikan undang-undang.
"Kalau kemudian mengabaikan putusan MK, maka cenderung orang akan mengatakan itu sama saja mengabaikan UUD 1945," kata Feri.
Lebih jauh, Feri menyampaikan KPU tidak perlu terlalu khawatir jika muncul polemik lantaran mengambil langkah kebijakan yang mengacu pada putusan MK. Menurut dia, sudah sedianya pengambilan keputusan atau kebijakan mengacu undang-udang yang berlaku.
Dia mengatakan UUD adalah dasar berpijak dalam proses penyelenggaraan negara termasuk proses penyelenggaraan pemilu. Karena itu, kata Feri, putusan MK menjadi lebih diutamakan.
"Kami sepakat di tata negara putusan MK punya makam (kedudukan tinggi) tersendiri karena menafsirkan UUD," kata Feri.
 Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang. (CNN Indonesia/Abi Sarwanto) |
Sementara itu, Auliya Khasanova menyampaikan MK dalam putusannya menyatakan larangan pengurus partai menjadi anggota DPD berlaku juga untuk Pemilu 2019. KPU bisa melakukan penyesuaian peraturan yang berlaku.
Menurut Auliya, pendapat MA putusan MK itu tidak berlaku surut kemudian berdampak dibatalkannya aturan di dalam PKPU yang telah dibuat KPU, justru terkesan aneh.
"Catatan di MK jelas tidak ada satu pun yang mengacu pada pemilu 2024, tapi pemilu 2019. Jadi pemilu yang diatur di PKPU adalah pemilihan umum 2019," kata Auliya.
Menanggapi pandangan tersebut, Ketua KPU Arief Budiman mengatakan berbagai saran dan masukan yang disampaikan oleh para ahli hukum akan menjadi bahan pertimbangan KPU dalam mengambil langkah tindak lanjut terhadap nasib calon peserta pemilu. Dalam hal ini adalah Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO).
Selain itu, pihaknya juga akan mengkaji dengan seksama putusan MA, MK dan juga PTUN agar tindak lanjut yang diambil nantinya punya dasar argumentasi yang kuat.
Arief menyatakan KPU akan segera mengambil sikap dalam waktu dekat supaya tindak lanjutnya komprehensif dan tidak saling bertentangan.
"Kami harus mengkaji secara utuh seluruh salinan putusan, baik dari MK, dari MA maupun dari TUN, supaya nanti tidak ada perdebatan lagi tentang tindak lanjut yang akan dilakukan oleh KPU," kata dia.
Terkait nama-nama pengurus partai yang menjadi caleg DPD, kata Arief, jumlahnya cukup banyak. Namun dari semua peserta itu telah menyertakan lampiran surat pengunduran diri dari partainya. Hanya OSO saja yang tidak menyertakan surat tersebut. Sehingga kemudian KPU tidak meloloskannya dalam daftar calon tetap (DCT) DPD.
(fhr/pmg)