Jakarta, CNN Indonesia -- Publik dikejutkan dengan kasasi
Mahkamah Agung yang menghukum seorang mantan guru honorer asal Mataram, Nusa Tenggara Barat,
Baiq Nuril Maknun, 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta.
Hukuman ini berbeda dengan pengadilan tingkat pertama yang memvonis bebas Baiq Nuril.
Ia adalah korban dalam kasus ini di mana ia diduga mendapat pelecehan seksual dari kepala sekolah di sekolah tempat ia pernah bekerja. Pelecehan terjadi secara verbal melalui telepon yang direkamnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Belakangan rekaman tersebut tersebar dan membuat kepala sekolah diberhentikan. Baiq kemudian dilaporkan dengan dugaan pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah jadi korban, jadi pesakitan pula. Penjara 6 bulan harus dijalani dan denda Rp500 juta harus dibayar.
Publik bereaksi. Dukungan diberikan pada Baiq Nuril. Penggalanan dana di situs Kitabisa.com dilakukan. Petisi untuk menyelamatkan Baiq Nuril dibuat di laman Change.org.
Dalam kasus Baiq Nuril, sistem peradilan yang belum berpihak pada korban kekerasan seksual ditengarai menjadi penyebab ia dinyatakan bersalah. Keberadaan Undang Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) kian mempersulit korban kekerasan seksual yang berupaya mencari keadilan.
Anggota Komnas Perempuan Sri Nurherawati mengatakan kasus Baiq Nuril tak bisa dilepaskan dari sistem hukum di Indonesia yang belum kompeten untuk melindungi korban kasus pelecehan seksual. Hal ini bisa terlihat dari paradigma penegak hukum yang kerap meminta hasil visum atau kesaksian dalam kasus pelecehan seksual.
"Penegak hukum ketika menerima laporan seseorang yang mengalami kekerasan seksual, di benak mereka alat buktinya hanya visum. Sementara pelecehan seksual kan tidak bisa divisum karena itu pemeriksaan fisik, tapi kalau pelecehan seksual itu tidak ada yang kurang, tidak ada yang tersakiti dan tidak bisa dilihat, rasanya ada di trauma dan psikis," ujar Sri saat ditemui di kantornya di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/11).
Sri turut mendampingi Baiq ketika kasus masih disidang di Pengadilan Negeri Mataram.
Menurutnya aksi Baiq yang mengambil rekaman suara sebagai bentuk pertahanan diri dari pelecehan seksual.
Baiq sudah beberapa kali mendapat perlakuan tak pantas dari pelaku berinsial M melalui telepon. Bentuk pelecehan seperti ini yang menurut Sri menyulitkan korban menghadirkan visum ataupun saksi seperti yang ada dalam ketentuan pelaporan.
Bahkan merujuk riwayat kasus kekerasan seksual yang selama ini terjadi, kata Sri, belum pernah ada aturan hukum yang mampu mengakomodasi hak korban.
Ini bisa dilihat dari UU Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP yang tidak mengatur secara khusus penanganan perempuan korban kekerasan. Padahal hak tersangka dan terdakwa sudah termaktub dalam KUHAP.
Sejatinya perlindungan hukum bagi perempuan menurut Sri dapat lebih baik karena Mahkamah Agung sudah memiliki Peraturan MA (Perma) Nomor 3 Tahun 2017. Perma ini merupakan pedoman bagi hakim untuk memahami posisi perempuan di hadapan hukum sesuai perspektif gender dan HAM.
Lalu kemunculan teknologi baru seperti media sosial yang diharapkan jadi alternatif tempat mengadu para korban, ternyata justru memperparah situasi.
"Kalau dulu tidak ada fasilitas (internet) lalu dia curhat saja bisa kena pencemaran nama baik. Bahkan ketika melapor ke polisi bisa juga kena SP3. Lalu di mana ruang perempuan untuk komplain, meminta perindungan?" tegas Sri.
Furqan Ermansyah, anggota SAFEnet Kota Mataram yang terus mendampingi kasus Baiq Nuril, menyoroti peran UU ITE yang dipakai jaksa penuntut umum di sidang kasasi. Pria yang akrab disapa dengan namq Rudi ini mendapat kesan penggunaan pasal karet di UU ITE menjadi alat pembungkam kebebasan berekspresi.
Tak hanya ekspresi, ia berpendapat UU ITE menjadi amunisi untuk disalahgunakan untuk memberangus kritik, ide, atau bahkan suara korban dalam suatu perkara hukum.
"Secara umum, pengaruhUUITE ini membungkam pendapat masyarakat, entah mereka benar ataupun salah,"tukasRudi dengan nada geram lewat telepon.
Koordinator Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE), Muhammad Arsyad mencatat sudah ada 300 lebih kasus sejak 2008-2018 yang 'ditembak' pasal karet UU ITE. Sekitar 90 persen dari jumlah itu menyasar orang-orang yang berusaha mengkritisi kebijakan atau mencari keadilan.
Adapun pasal karet yang paling sering digunakan menurut catatan PAKU ITE adalah pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2. Seringnya penggunaan pasal karet tersebut diibaratkan oleh Arsyad menyerupai gaya Orde Baru dalam menekan opini seseorang tanpa ada ukuran yang jelas.
"Misal ada pelanggan mengeluhkan restoran yang dikunjunginya kotor di media sosial, dia bisa dituntut oleh restorannya. Dulu kebebasan berpendapat dimonopoli oleh otoritas Soeharto, tapi sekarang ini berganti menjadi UU ITE," ucap Arsyad.
Hal pelik lain yang jadi sorotan Arsyad dari UU ITE adalah kebutuhan uang yang tak kecil untuk menghadirkan minimal tiga saksi ahli yang dibutuhkan. Guna mendatangkan saksi ahli pidana, ahli bahasa, dan ahli ITE, paling tidak seseorang yang berperkara di ranah UU ITE harus merogoh kocek Rp50 juta.
Kondisi demikian memperkecil akses warga dengan latar ekonomi pas-pasan menghadirkan saksi ahli untuk berpihak padanya.
"Artinya hanya elit, penguasa modal, dan para atasan yang bisa mengakses saksi tersebut," imbuh Arsyad.
Mengatur Perlawanan BaruRudi menyampaikan keadaan Baiq saat ini masih terpukul. Mantan guru honorer itu disebut masih tak percaya dirinya yang berada di posisi korban pelecehan seksual justru divonis bersalah oleh majelis hakim MA dengan pidana kurungan 6 bulan dan denda Rp500 juta.
"Bisa dikatakan ini stres ganda, sudah menjadi korban tapi malah dihukum," tukasnya.
Kendati demikian, pihak yangmendampingiBaiq belum berhenti melawan putusan MA tersebut. Salah satu langkah yang menjadi pertimbangan adalah membuat laporan ke kepolisian atas pelecehan seksual yang terjadi serta mengajukan peninjauan kembali (PK).
Sri berharap Nuril atau keluarganya membuat laporan ke polisi. Sebab dengan cara demikian, mereka dapat mengejar bukti baru sebagai novum di PK nanti. Sementara Arsyad dan pendamping kasus Baiq yang lain mengupayakan berbagai cara, mulai dari kajian, dialog, eksaminasi putusan, dan cara lain sebagai bekal mereka bertarung kembali ke meja hijau.
"Kami juga melobi pemerintah ke MA dan ke Presiden untuk menunda eksekusi Nuril," kata Arsyad.