ANALISIS

Baiq Nuril dan Kombinasi Maut Penjerat Korban Pelecehan

CNN Indonesia
Kamis, 15 Nov 2018 08:00 WIB
UU ITE dan sistem hukum yang tidak kompeten dinilai jadi kombinasi maut yang membuat Baiq Nuril divonis bersalah meski sebenarnya korban pelecehan seksual.
Foto ilustrasi. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Publik dikejutkan dengan kasasi Mahkamah Agung yang menghukum seorang mantan guru honorer asal Mataram, Nusa Tenggara Barat, Baiq Nuril Maknun, 6 bulan penjara dan denda Rp500 juta.

Hukuman ini berbeda dengan pengadilan tingkat pertama yang memvonis bebas Baiq Nuril.

Ia adalah korban dalam kasus ini di mana ia diduga mendapat pelecehan seksual dari kepala sekolah di sekolah tempat ia pernah bekerja. Pelecehan terjadi secara verbal melalui telepon yang direkamnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Belakangan rekaman tersebut tersebar dan membuat kepala sekolah diberhentikan. Baiq kemudian dilaporkan dengan dugaan pelanggaran Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah jadi korban, jadi pesakitan pula. Penjara 6 bulan harus dijalani dan denda Rp500 juta harus dibayar.

Publik bereaksi. Dukungan diberikan pada Baiq Nuril. Penggalanan dana di situs Kitabisa.com dilakukan. Petisi untuk menyelamatkan Baiq Nuril dibuat di laman Change.org.

Dalam kasus Baiq Nuril, sistem peradilan yang belum berpihak pada korban kekerasan seksual ditengarai menjadi penyebab ia dinyatakan bersalah. Keberadaan Undang Undang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE) kian mempersulit korban kekerasan seksual yang berupaya mencari keadilan.

Anggota Komnas Perempuan Sri Nurherawati mengatakan kasus Baiq Nuril tak bisa dilepaskan dari sistem hukum di Indonesia yang belum kompeten untuk melindungi korban kasus pelecehan seksual. Hal ini bisa terlihat dari paradigma penegak hukum yang kerap meminta hasil visum atau kesaksian dalam kasus pelecehan seksual.

"Penegak hukum ketika menerima laporan seseorang yang mengalami kekerasan seksual, di benak mereka alat buktinya hanya visum. Sementara pelecehan seksual kan tidak bisa divisum karena itu pemeriksaan fisik, tapi kalau pelecehan seksual itu tidak ada yang kurang, tidak ada yang tersakiti dan tidak bisa dilihat, rasanya ada di trauma dan psikis," ujar Sri saat ditemui di kantornya di Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (14/11).

Sri turut mendampingi Baiq ketika kasus masih disidang di Pengadilan Negeri Mataram.

Menurutnya aksi Baiq yang mengambil rekaman suara sebagai bentuk pertahanan diri dari pelecehan seksual.

Baiq sudah beberapa kali mendapat perlakuan tak pantas dari pelaku berinsial M melalui telepon. Bentuk pelecehan seperti ini yang menurut Sri menyulitkan korban menghadirkan visum ataupun saksi seperti yang ada dalam ketentuan pelaporan.

Bahkan merujuk riwayat kasus kekerasan seksual yang selama ini terjadi, kata Sri, belum pernah ada aturan hukum yang mampu mengakomodasi hak korban.

Ini bisa dilihat dari UU Nomor 8 Tahun 1981 KUHAP yang tidak mengatur secara khusus penanganan perempuan korban kekerasan. Padahal hak tersangka dan terdakwa sudah termaktub dalam KUHAP.

Sejatinya perlindungan hukum bagi perempuan menurut Sri dapat lebih baik karena Mahkamah Agung sudah memiliki Peraturan MA (Perma) Nomor 3 Tahun 2017. Perma ini merupakan pedoman bagi hakim untuk memahami posisi perempuan di hadapan hukum sesuai perspektif gender dan HAM.

Lalu kemunculan teknologi baru seperti media sosial yang diharapkan jadi alternatif tempat mengadu para korban, ternyata justru memperparah situasi.

"Kalau dulu tidak ada fasilitas (internet) lalu dia curhat saja bisa kena pencemaran nama baik. Bahkan ketika melapor ke polisi bisa juga kena SP3. Lalu di mana ruang perempuan untuk komplain, meminta perindungan?" tegas Sri.

ITE Undang-undang Pemberangus Suara Korban

BACA HALAMAN BERIKUTNYA

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER