Furqan Ermansyah, anggota SAFEnet Kota Mataram yang terus mendampingi kasus Baiq Nuril, menyoroti peran UU ITE yang dipakai jaksa penuntut umum di sidang kasasi. Pria yang akrab disapa dengan namq Rudi ini mendapat kesan penggunaan pasal karet di UU ITE menjadi alat pembungkam kebebasan berekspresi.
Tak hanya ekspresi, ia berpendapat UU ITE menjadi amunisi untuk disalahgunakan untuk memberangus kritik, ide, atau bahkan suara korban dalam suatu perkara hukum.
"Secara umum, pengaruhUUITE ini membungkam pendapat masyarakat, entah mereka benar ataupun salah,"tukasRudi dengan nada geram lewat telepon.
Koordinator Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE), Muhammad Arsyad mencatat sudah ada 300 lebih kasus sejak 2008-2018 yang 'ditembak' pasal karet UU ITE. Sekitar 90 persen dari jumlah itu menyasar orang-orang yang berusaha mengkritisi kebijakan atau mencari keadilan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun pasal karet yang paling sering digunakan menurut catatan PAKU ITE adalah pasal 27 ayat 3 dan pasal 28 ayat 2. Seringnya penggunaan pasal karet tersebut diibaratkan oleh Arsyad menyerupai gaya Orde Baru dalam menekan opini seseorang tanpa ada ukuran yang jelas.
"Misal ada pelanggan mengeluhkan restoran yang dikunjunginya kotor di media sosial, dia bisa dituntut oleh restorannya. Dulu kebebasan berpendapat dimonopoli oleh otoritas Soeharto, tapi sekarang ini berganti menjadi UU ITE," ucap Arsyad.
Hal pelik lain yang jadi sorotan Arsyad dari UU ITE adalah kebutuhan uang yang tak kecil untuk menghadirkan minimal tiga saksi ahli yang dibutuhkan. Guna mendatangkan saksi ahli pidana, ahli bahasa, dan ahli ITE, paling tidak seseorang yang berperkara di ranah UU ITE harus merogoh kocek Rp50 juta.
Kondisi demikian memperkecil akses warga dengan latar ekonomi pas-pasan menghadirkan saksi ahli untuk berpihak padanya.
"Artinya hanya elit, penguasa modal, dan para atasan yang bisa mengakses saksi tersebut," imbuh Arsyad.
Mengatur Perlawanan BaruRudi menyampaikan keadaan Baiq saat ini masih terpukul. Mantan guru honorer itu disebut masih tak percaya dirinya yang berada di posisi korban pelecehan seksual justru divonis bersalah oleh majelis hakim MA dengan pidana kurungan 6 bulan dan denda Rp500 juta.
"Bisa dikatakan ini stres ganda, sudah menjadi korban tapi malah dihukum," tukasnya.
Kendati demikian, pihak yangmendampingiBaiq belum berhenti melawan putusan MA tersebut. Salah satu langkah yang menjadi pertimbangan adalah membuat laporan ke kepolisian atas pelecehan seksual yang terjadi serta mengajukan peninjauan kembali (PK).
Sri berharap Nuril atau keluarganya membuat laporan ke polisi. Sebab dengan cara demikian, mereka dapat mengejar bukti baru sebagai novum di PK nanti. Sementara Arsyad dan pendamping kasus Baiq yang lain mengupayakan berbagai cara, mulai dari kajian, dialog, eksaminasi putusan, dan cara lain sebagai bekal mereka bertarung kembali ke meja hijau.
"Kami juga melobi pemerintah ke MA dan ke Presiden untuk menunda eksekusi Nuril," kata Arsyad.
(bin/sur)