Jakarta, CNN Indonesia -- Ahli hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari menilai publik perlu mengetahui latar belakang calon wakil rakyat yang akan dipilihnya dalam
Pemilu 2019.
Jika ada calon legislatif (caleg) yang tidak membuka informasi tentang dirinya ke publik, maka patut dicurigai.
Menurut Feri, caleg yang tertutup itu bisa saja menyimpan catatan negatif, sehingga khawatir jika hal itu diketahui publik akan menjadi hambatan untuk menjadi caleg.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau kemudian peserta pemilu tidak membuka data dirinya, bisa saja berarti ada masalah. Patut dicurigai itu," kata Feri saat ditemui di kantor KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat.
Aturan terkait informasi caleg diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) nomor 20 Tahun 2018 Pasal 8 ayat (1) huruf i dan j tentang Pencalonan anggota DPR dan DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dalam beleid caleg dibolehkan bersedia/tidak bersedia daftar riwayat hidup dan informasi dirinya dipublikasi.
Dengan demikian ada pilihan bagi caleg agar informasi mengenainya dirinya tidak diketahui oleh publik.
Menurut Feri, meskipun aturan membolehkan caleg tidak terbuka, bukan berarti semua datanya tidak bisa diakses. Karena ini terkait dengan referensi yang bisa didapatkan publik sebagai bahan pertimbangan untuk memilih.
Kata Feri, ada sebagian data substansial yang sedianya diketahui publik. Misalnya terkait dengan latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan juga kasus-kasus yang pernah menjeratnya. Sedangkan seperti Nomor Induk Kependudukan (NIK), kontak yang bisa dihubungi tidak perlu ditampilkan.
Lebih jauh, menurut Feri, tertutupnya informasi caleg kepada publik berimplikasi panjang. Bisa saja setelah terpilih maka caleg tersebut justru semakin tertutup dengan masyarakat.
Feri menyarankan KPU aktif mendorong masyarakat untuk jeli memilih calon dengan memperhatikan secara detil mengenai latar belakangnya.
"KPU tidak boleh kampanye. Tapi bisa beri kesadaran kepada publik untuk mempertanyakan calon yang tidak membuka dirinya," ujarnya.
(ugo/fhr)