Jakarta, CNN Indonesia -- Calon presiden nomor urut 02
Prabowo Subianto disebut tak berjarak dengan kelompok alumni
212. Kesan itu bermula dari Ijtimak Ulama I yang digagas Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama. Hasil Ijtima menyatakan alumni 212 dan sejumlah ormas Islam menyatakan dukungan kepada Prabowo.
Kala itu, Ijtima juga merekomendasikan Prabowo agar menggandeng Ketua Dewan Syuro PKS Salim Segaf Aljuffri atau Ustaz Abdul Somad.
Prabowo, mengucapkan terima kasih atas dukungan itu. Namun, dia memilih Sandiaga Uno sebagai pendampingnya mengarungi Pilpres 2019.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
GNPF Ulama kemudian menggelar Ijtimak Ulama II. Mufakat yang dihasilkan bisa ditebak. Mereka mendukung Prabowo-Sandi dalam Pilpres 2019 dengan 17 poin yang harus dipegang teguh. Salah satunya adalah memulangkan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab jika menjadi pemenang pilpres. Prabowo pun setuju.
Hal lain yang menunjukkan kedekatan Prabowo dengan alumni 212 dapat terlihat dalam struktur Badan Pemenangan Nasional (BPN) atau tim kampanye Prabowo-Sandi. Di dalam struktur tim tersebut juga terlibat sejumlah nama petinggi alumni 212.
Sebut saja Ketua Persaudaraan Alumni 212 Slamet Maarif didapuk sebagai wakil ketua BPN. Posisi yang sama diberikan kepada aktivis #2019GantiPresiden, Neno Warisman. Kemudian, Ketua GNPF Ulama Yusuf Muhammad Martak didaulat sebagai anggota dewan pengarah. Juga lainnya yang menjadi juru kampanye.
Termutakhir, kedekatan Prabowo dengan Alumni 212 nampak jelas dalam momentum besar yang dihelat di Monumen Nasional, yakni pada Reuni 212 kedua pada Minggu kemarin (2/12). Prabowo hadir di sana.
Bak pahlawan, Prabowo dielu-elukan massa yang meneriakkan namanya. Mereka ingin melihat mantan Danjen Kopassus itu berbicara di atas panggung. Saat waktunya tiba, gemuruh sorak dan teriakan menyelimuti langit kawasan Monas.
"Takbir! Takbir! Takbir! Merdeka! Merdeka! Merdeka!" pekik Prabowo di hadapan massa Reuni 212.
 Prabowo Subianto saat berorasi di depan massa reuni 212, kawasan Monas, Jakarta Pusat, 2 Desember 2018. (CNN Indonesia TV) |
Pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Adi Prayitno menilai Prabowo dan alumni 212 bisa berdampingan sedemikian mesra bukan karena kesamaan pandangan soal agama. Alumni 212, yang merupakan kelompok bernuansa Islam, tidak menganggap Prabowo sebagai pemimpin dengan wawasan keagamaan yang luas.
"Prabowo dan Alumni 212 bisa bersama itu karena sama-sama ingin ganti presiden," kata dia, saat dihubungi, Senin (3/12).
Adi menjelaskan petinggi Alumni 212 adalah orang-orang yang pandai dan luas wawasan keagamaannya. Mereka, kata Adi, tahu betul sosok yang kiranya patut dijadikan pemimpin jika kriterianya adalah wawasan keagamaan. Adi menganggap Ma'ruf Amin yang akan dipilih Alumni 212 jika kriteria tersebut yang digunakan.
Namun di sisi yang lain, Alumni 212 terganggu dengan sikap pemerintah yang mereka tuding kerap mengkriminalisasi ulama. Walhasil, Alumni 212 memberikan dukungannya kepada Prabowo-Sandiaga. Keputusan itu diambil sebagai wujud perlawanan kepada Jokowi selaku sosok petahana.
"Kenapa Prabowo? karena enggak ada sosok lain yang diharapkan bisa menggantikan Jokowi. Berbeda halnya jika ada tiga pasang calon. Dukungan Alumni 212 tidak akan sesolid seperti mendukung Prabowo saat ini," tutur Adi.
Ada alasan Prabowo mendekati kelompok Islam, berbeda dengan yang terjadi pada Pilpres 2014...
Adi mengatakan baru kali ini Prabowo intensif mendekati kelompok Islam kanan seperti Alumni 212 dan ormas-ormas Islam macam Front Pembela Islam (FPI). Hal itu tidak dilakukan Prabowo pada pilpres sebelumnya.
Menurut Adi, pada 2014, Prabowo sudah merasa kuat karena telah mendapat dukungan politik dari mayoritas parpol.
Prabowo kala itu juga sudah menganggap kelompok Islam sudah terepresentasi dari parpol-parpol yang mendukungnya. Oleh karenanya, Prabowo tidak terlalu intensif menggaet dukungan dari kelompok Islam.
Berbeda halnya dengan Pilpres 2019. Prabowo tidak mendapat banyak dukungan politik. Mayoritas parpol di parlemen sudah menancapkan komitmennya untuk mendukung Jokowi-Ma'ruf. Kondisi demikian yang membuat Prabowo kini rajin mendekati kelompok Islam kanan.
"Pilpres 2019 juga tidak lepas atau kelanjutan dari Pilgub DKI Jakarta. Alumni 212 waktu itu menentang Ahok. Lalu sekarang menentang partai-partai pendukung Ahok. Dahulu Anies Baswedan yang didukung, kini Prabowo yang didukung," ucap Adi.
Adi mengatakan setiap keputusan menerbitkan konsekuensi. Begitu pula sikap Prabowo yang memilih dekat dengan alumni 212.
Konsekuensi yang harus dihadapi Prabowo adalah sulit merangkul kalangan Islam moderat seperti warga Nahdlatul Ulama. Adi menilai NU termasuk Islam moderat karena memilih berada di tengah. Tidak terlalu kiri, tidak pula terlalu kanan. NU dinilainya mengambil sikap pro Pancasila dan Islam Nusantara.
Prabowo, kata Adi, sangat sulit mendapat dukungan dari kalangan NU struktural. Menurutnya, kalangan tersebut sudah terlalu dekat dengan kubu Jokowi-Ma'ruf.
Selain itu, NU struktural juga selama ini kerap menentang gerakan-gerakan kelompok Islam yang tergolong radikal.
"Meskipun diksi radikal itu sendiri masih bisa diperdebatkan," kata Adi.
Meski begitu, Prabowo masih mungkin meraih simpati dari warga NU kultural. Adi menilai masih banyak warga NU kultural yang teralienasi dari hiruk pikuk politik termutakhir. Mereka tidak terkontaminasi dengan peperangan politik di tingkat pusat. Menurut Adi, kalangan tersebut masih banyak di daerah-daerah pedesaan.
Warga NU kultural yang dimaksud Adi itu juga tidak memahami dengan pasti konsep Islam Nusantara yang digaungkan NU struktural. Hal itu menjadi ruang bagi Prabowo untuk masuk meraih dukungan.
"NU yang apolitis, yang selama ini tidak pernah dalam dunia partisan itulah yang kemudian didekati prabowo. Di saat yang bersamaan, elit elit NU juga tidak satu suara. ada yang tidak suka dengan NU struktural yang terlalu dekat dengan penguasa," ucap Adi.
Konsekuensi SulitKedekatan Prabowo dengan Alumni 212, lanjut Adi, memunculkan konsekuensi lainnya. Prabowo diprediksi akan sulit meraih simpati dari kalangan Islam moderat yang tidak pernah menimba ilmu di sekolah-sekolah keagamaan seperti pesantren.
Prabowo akan sulit karena kalangan tersebut tidak suka dengan gelagat alumni 212 dan ormas-ormas Islam yang tergabung di dalamnya.
Kesulitan lain yang dinilai menjadi ancaman bagi Prabowo yakni kalangan Islam moderat tidak mengkonsolidasikan dirinya dalam suatu kelompok. Bukan karena mereka buta politik, melainkan memang tidak suka dengan membentuk suatu wadah atau kelompok untuk menyalurkan kepentingan politiknya bersama-sama.
"Kelompok moderat ini agak elitis. Berdiri di menara gading. Kakinya tidak menyentuh ke tanah. Mereka cenderung memantau di media sosial masing-masing," ucap Adi.
Menurut Adi, demi merangkul kalangan tersebut, Prabowo bisa mengandalkan Sandiaga. Calon wakil presiden itu memang tidak terlalu dekat dengan Alumni 212 seperti Prabowo.
Sandi dinilai mampu meraih dukungan dari Islam moderat dengan wawasan, kemampuan, pengalaman, dan prestasinya sebagai pengusaha muda yang berhasil. Kewirausahaan, yang selama ini kerap disuarakan Sandi, dinilai Adi sebagai langkah untuk menggalang dukungan kalangan muda Islam moderat.
"Mungkin Sandi bisa menempuh dengan jalur yang berbeda. Toh selama ini Sandi juga tidak hadir dalam Ijtima Ulama dan Reuni 212 sehingga tidak bisa diidentikkan dengan kelompok Islam kanan," ucap Adi.