Arya mengaku membuat situs-situs tersebut sebagai bentuk pembelaan terhadap
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dari penggiringan opini lain yang sedang dibangun di Papua. Lewat situs tersebut, ia ingin membuat gambaran pendekatan pemerintah terhadap Papua sudah berubah dari yang bersifat militeristik menjadi lebih humanis.
Arya menampik dimodali donatur besar di balik pembuatan situs-situs yang dia asuh. Ia mengkalim segala bentuk operasional dan biaya penulis berasal dari kantongnya sendiri.
"Itu semua biaya sendiri. Saya ini dosen dan punya beberapa sampingan lain. Cukup kalau cuma kelola enam situs," kata Arya yang juga politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arya mengungkapkan tidak ada pihak yang memintanya untuk membuat situs tersebut, baik dari Komisi I ataupun PKS. Ia menegaskan sudah memiliki perhatian khusus dengan isu separatisme Papua sejak mengambil studi magister Pertahanan di Singapura. Isu tersebut, klaim Arya, terus digeluti saat mengambil program doktoral di Turki.
Ia memandang separatisme di Papua sudah berkembang dari gerakan militer menjadi organisasi bersayap politik. Dengan begitu, mereka akan terus memainkan opini yang menyudutkan Indonesia karena secara fakta pembangunan di Papua justru semakin membaik.
"Inisiatif saya untuk terus melawan opini mereka," ungkap Arya.
Arya, yang pernah menjadi dosen di Universitas Budi Luhur, tak membutuhkan dana besar karena para penulis yang dia libatkan adalah mahasiswa-mahasiswanya sendiri.
Layaknya situs opini, Arya menegaskan tak perlu mendaftarkan enam situs mililknya ke Dewan Pers yakni
freewestpapua.co,
freewestpapua.co.nz,
westpapuaupdate.com,
onwestpapua.com,
westpapuaterrace.com, dan
westpapuaarchive.com.
 Upacara Pengantaran Jenazah Sertu Anumerta Handoko Yonif 755 Papua. ( Spri Wakapolri AKP M Fadli) |
Kode etik jurnalistik ataupun upaya
cover both side terhadap segala artikel yang ditulis di dalam situs-situsnya jadi urusan belakangan. Arya berkukuh pada pandangan kebangsaannya karena terinspirasi cara Presiden pertama Sukarno saat menulis
Indonesia Menggugat.
"Bung Karno nulis Indonesia Menggugat tidak perhatikan
cover both side dan etika jurnalistik. Ini masalah keberpihakan. Saya bela NKRI," kata Arya.
Arya beranggapan di era reformasi dan keterbukaan saat ini, situs-situs opini tidak perlu izin dan punya keleluasaan. Tanpa harus ada pertanggungjawaban seperti lazimnya situs berita arus utama.
Sebaliknya, Arya menilai pihak-pihak yang patut dicurigai adalah situs-situs pemberitaan yang mengecap situs propaganda pro NKRI --seperti yang ia kelola-- tak sesuai kaidah jurnalistik. Ia menduga upayanya untuk membendung opini OPM membuat banyak pihak marah.
Padahal, lanjut Arya, situs-situs tersebut sudah tak lagi berjalan sejak satu setengah tahun lalu. Dana yang seharusnya digunakan untuk operasional situs tersebut ia gunakan untuk biaya pencalonannya sebagai calon anggota legislatif (caleg) di Bali. Ia juga mengaku sudah meninggal profesi dosen karena ingin fokus menjadi caleg PKS.
"Situs tersebut sudah tak lagi berjalan selama satu setengah tahun, tapi baru diungkit sekarang. Ini terlihat ada kelompok anti-KNRI yang marah dengan kelompok pro-NKRI," ungkap Arya.
 Prajurit TNI bersiap menaiki helikopter menuju Nduga di Wamena, Papua, Rabu (5/12) (ANTARA FOTO/Iwan Adisaputra) |
Untuk itu, Arya meminta agar publik berhati-hati mengonsumsi berita-berita yang secara halus mengarahkan pada pandangan-pandangan yang membela separatis di Papua baik secara konteks, maupun kontributor atau jurnalis di dalamnya.
"Mereka (OPM) bisa menjelma jadi kontributor atau jurnalis di media di Indonesia," kata Arya.
Berdasarkan pengamatan
CNNIndonesia.com, setidaknya ada 10 situs selain milik Arya yang juga mempropagandakan kepentingan NKRI di
Bumi Cenderawasih. Situs
papuanews.id, misalnya, menjadi situs yang paling aktif memperbarui kontennya sampai awal Desember 2018.
Propaganda itu dibuat untuk meredam gerakan separatis, sekaligus mengamankan misi pemerintah pusat membangun infrastruktur di Papua.
TPNPB selaku sayap militer OPM tegas tak merestui upaya rezim Jokowi menggenjot proyek infrastruktur di tanah Papua. Mereka menganggap segala bentuk kehadiran pemerintah Indonesia di Papua sebagai penjajahan.
"Kami tidak mau Indonesia ada di tanah kami. Indonesia harus keluar dari tanah kami. Kelompok TNI Polisi adalah penjajah, termasuk orang-orang Indonesia yang tinggal di Papua," ujar juru bicara TPNPB Sebby Sambom kepada
CNNIndonesia.com.
(dal/gil)