Jakarta, CNN Indonesia -- Tahun 2018 dianggap sebagai titik tempur menuju tahun
politik. Awal ditabuhnya genderang tanda dimulainya rangkaian pelaksanaan
pemilihan umum (Pemilu) 2019. Pemilu yang akan digelar tanggal 17 April 2019, akan menjadi tonggak sejarah bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia, sebab pemilihan presiden/wakil presiden dan pemilihan legislatif akan digelar secara serentak.
Calon presiden yang bersaing di Pilpres 2019 mengulang pertarungan lama Pilpres 2014, antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Genderang Pilpres diawali oleh manuver PDIP yang mencalonkan kembali Presiden Joko Widodo sebagai calon presiden di Pilpres 2019. Keputusan itu diambil langsung oleh Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri dalam rapat kerja nasional (Rakernas) di Sanur, Bali Februari 2018 silam.
Langkah PDIP itu lantas disusul oleh Partai Gerindra yang kembali mencalonkan Ketua Umumnya, Prabowo Subianto sebagai capres pada April 2018. Prabowo membuka pintu bagi parpol koalisi untuk bergabung guna memenangkan Pilpres tahun depan.
Memasuki pertengahan tahun, dinamika politik Indonesia mulai memanas. Mesin parpol mulai dinyalakan, strategi pun dijalankan.
Sebanyak 16 partai politik peserta pemilu yang tekah ditetapkan Komisi Pemilihan Umim (KPU) mulai bermanuver mencari rekan koalisi yang tepat guna mengusung capres-cawapres di Pilpres 2019.
Kondisi itu tak lepas dari diberlakukannya Undang-undang Pemilu yang mematok ambang batas sebesar 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung calon presiden dan calon wakil presiden.
 (CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi) |
Dari 16 partai politik peserta pemilu 2019, tak ada satupun yang memenuhi ambang batas tersebut. Dengan kata lain, parpol tersebut diharuskan berkoalisi dengan partai lain untuk memcalonkan presiden dan wakil presiden.
Bagi Jokowi, yang berstatus sebagai capres petahana, tak kesulitan untuk membentuk koalisi parpol di Pilpres. Sekitar Juli 2018, Jokowi berhasil menggaet enam parpol di parlemen untuk berkoalisi. Mereka diantaranya PDIP, Golkar, PKB, Nasdem, PPP dan Hanura.
Sebagai simbolisasi terjalinnya koalisi itu, Jokowi lantas menggelar jamuan makan malam dengan mengundang enam ketua umum parpol tersebut di Istana Bogor, Jawa Barat, pada 23 Juli 2018.
Tak berhenti di situ, tiga parpol non parlemen pun menambah gemuk gerbong koalisi Jokowi di Pilpres. Mereka diantaranya PSI, Perindo dan PKPI. Alhasil, total 9 partai politik bersepakat berkoalisi dan mencalonkan Jokowi sebagai capres dengan nama Koalisi Indonesia Kerja.
Di sisi lain, sang rival, Prabowo Subianto belum memiliki banyak parpol dukungan seperti layaknya Jokowi. Awalnya Prabowo hanya berhasil mengumpulkan tiga parpol di parlemen yakni Gerindra, PKS, PAN untuk berkoalisi di Pilpres.
Kesepakatan itu diam-diam sudah ditandatangani di kediaman Prabowo yang terletak di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan pada 14 Juli 2018.
Tak hanya soal kesepakatan koalisi, tapi juga kesepakatan soal Prabowo ditunjuk sebagai capres. Prabowo juga turut disokong penuh oleh tokoh-tokoh agama melalui agenda Ijtima Ulama yang diinisiasi oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF U) pada 27-29 Juli 2018.
Kala itu, Ijtima Ulama merekomendasikan Prabowo Subianto sebagai calon presiden.
Dari sisi dukungan, Prabowo menambah amunisinya dengan merapatnya Partai Demokrat. Sinyal itu diperkuat ketika Prabowo mendatangi kediaman Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada bulan Juli 2018.
Penunjukan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin sebagai cawapres Jokowi maupun eks Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno sebagai cawapres Prabowo mengejutkan banyak pihak.
Jelang batas akhir masa pendaftaran calon presiden dan wakil presiden di Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 10 Agustus, kedua poros koalisi masih kesulitan untuk menemukan sosok cawapres ideal.
Di poros Jokowi, penunjukan Ma'ruf sebagai cawapres terbilang penuh kejutan. Pasalnya, nama mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menguat sebagai kandidat pendamping Jokowi di Pilpres
Kala itu, Wasekjen PDIP Eriko Sotarduga dan Ketua Umum PPP Romahurmuziy menyebut sosok cawapres pendamping Jokowi sudah mengerucut menjadi satu nama dengan inisial M. Kebanyakan orang percaya bahwa Mahfud adalah kandidat yang dipilih Jokowi.
Kabar rencana penunjukan Mahfud sebagai cawapres Jokowi itu lantas menuai respon dari berbagai pihak, termasuk Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU).
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj menyatakan bahwa Mahfud MD bukanlah seorang kader Nahdlatul Ulama.
Jelang deklarasi penentuan cawapres, sinyal kuat pendamping Jokowi itu masih menguat ke arah Mahfud.
Jokowi lantas mengumpulkan sembilan Ketum dan sembilan Sekjen Parpol KIK di Restoran Plataran, Menteng, Jakarta pada 9 Agustus untuk memfinalisasi sosok pendampingnya tersebut. Saat yang bersamaan, Mahfud sudah berada di sebuah tempat tak jauh dari lokasi pertemuan tersebut.
Jokowi pada akhirnya menjatuhkan pilihan pada Ma'ruf Amin sebagai cawapres sekitar pukul 19.00 WIB.
Sama seperti Jokowi, drama pemilihan Sandiaga Uno sebagai cawapres Prabowo Subianto di Pilpres tak kalah rumitnya dan mengejutkan banyak pihak.
Jelang penutupan pendaftaran capres cawapres, koalisi Gerindra pun semakin intens untuk melakukan pembahasan terkait siapa sosok yang tepat untuk mendampingi Prabowo.
Jelang H-2 penutupan pendaftaran, tepatnya 10 Agustus, Prabowo terlihat hilir mudik menemui beberapa elite parpol koalisinya di berbagai tempat guna melakukan pembahasan soal cawapres.
Sebelum mengumumkan Sandiaga, Prabowo terlihat masih hilir mudik menuju rumah SBY. Saat itu nama AHY menguat lantaran hasil survei sejumlah lembaga menempatkannya sebagai sosok paling favorit.
Prabowo akhirnya meninggalkan SBY dan kembali ke rumahnya di kawasan Kertanegara, Jakarta Selatan. Di sana sudah menunggu petinggi PKS dan PAN. Alhasil, Sandi secara resmi dipilih oleh Prabowo sebagai cawapres dalam deklarasi di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Kamis (9/8) malam. Namanya disetujui partai koalisi Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhirnya menetapkan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto -Sandiaga Uno sebagai pasangan capres dan cawapres yang akan berlaga di Pilpres 2019.
Pasangan Jokowi-Ma'ruf pun mendapatkan nomor urut 01 dan pasangan Prabowo-Sandiaga mendapatkan nomor urut 02 di Pilpres.
Sejak KPU secara resmi membuka masa kampanye damai pada 23 September lalu, baik kubu Jokowi dan Prabowo terlihat masih irit untuk membeberkan berbagai program dan gagasannya di Pilpres. Kedua kubu, baik kandidat dan tim suksesnya justru terlihat saling mengolok-olok dan memainkan
gimmick politik ketimbang adu gagasan.
Tak lama setelah Sandiaga ditujuk jadi Cawapres bagi Prabowo, Wasekjen Demokrat Andi Arief menyebut Prabowo sebagai jenderal kardus. Andi menuding ada mahar politik dari Sandi untuk PKS dan PAN agar direstui jadi cawapres. Meski begitu, dukungan Demokrat untuk Prabowo-Sandi tidak dicabut.