Jakarta, CNN Indonesia -- Nama
Bahar bin Smith mencuat setelah menjadi tersangka kasus dugaan
penganiayaan di Bogor. Ceramah pimpinan Majelis Pembela Rasulullah ini pun viral di media sosial ketika menyebut
Presiden Joko Widodo sebagai pengkhianat bangsa dan juga banci.
Isi ceramah Bahar selama ini memang dianggap provokatif. Dalam ceramahnya yang beredar di media sosial, ia sering meminta umat Islam untuk melakukan amar ma'ruf nahi munkar atau mengajak pada kebaikan dan mencegah hal-hal yang buruk. Namun cara yang ditempuh termasuk melakukan tindak kekerasan.
Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar menyatakan ulama di Indonesia saat ini memang semakin 'merdeka' berceramah seiring meningkatnya keterbukaan di era reformasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia tak menampik pemerintah saat ini memberi ruang keterbukaan yang sangat luas, termasuk bagi ulama. Tak heran jika muncul ulama yang memiliki karakteristik keras dalam menyampaikan ceramahnya.
"Di zaman Presiden Soeharto mana berani ulama bicara keras. Tapi sekarang dengan kebebasan ini muncul ceramah keras. Enggak mungkin kan, ulama bisa teriak-teriak seperti itu tanpa ada ruang keterbukaan," ujar Nasaruddin.
Nasaruddin pun tak mempermasalahkan keberadaan ulama yang berceramah dengan nada keras. Namun ia menekankan para ulama tak boleh melakukan fitnah atau pelanggaran pidana lainnya.
Mantan Wakil Menteri Agama ini menegaskan jika ceramah atau sikap seorang ulama sampai melanggar hukum maka tak lantas membuat ulama itu kebal atau lepas dari jerat pidana. Menurutnya, seorang ulama yang terbukti bersalah harus tetap dihukum.
"Harus dibedakan ulama yang keras tidak melanggar dengan yang sudah menabrak aturan," tutur Nasaruddin.
Ia mengingatkan bahwa seorang ulama harus tetap mengedepankan sikap santun dan bijaksana dalam berceramah. Menurutnya, cara seperti itu akan lebih diterima oleh umat yang mendengarkan.
Di Masjid Istiqlal sendiri, Nasaruddin cukup selektif memilih kriteria ulama yang akan memberikan ceramah. Dalam berdakwah, ulama seharusnya menyampaikan dengan santun, beradab, tawadhu.
"Ulama kan memang tugasnya bicara, tapi jangan melampaui batas," ucapnya.
 Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas (tengah). (CNN Indonesia/Safir Makki) |
Sementara itu Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas tak menampik bahwa cara ulama menyampaikan ceramah terkadang memang harus dengan keras. Dengan catatan jika ceramah dengan cara lemah lembut tak lagi mempan.
"Kalau untuk amar ma'ruf memang enak tinggal nyuruh orang berbuat baik, tapi kalau nahi munkar kan susah," katanya.
Ia mencontohkan cara berdakwah yang selama ini dilakukan Front Pembela Islam (FPI). Menurut Anwar, FPI kerap mengingatkan pada aparat penegak hukum agar segera menindak tempat-tempat perjudian maupun prostitusi. Namun, permintaan itu diabaikan hingga akhirnya FPI bertindak sendiri.
"Kalau diomong baik tidak mau terpaksa orang melakukan tindak kekerasan," katanya.
Di sisi lain, Anwar melihat ulama yang berceramah dengan nada keras dan provokatif ini memang banyak diminati masyarakat khususnya di kalangan menegah ke bawah. Daya serap masyarakat menengah ke bawah yang lebih tinggi daripada kalangan atas.
"Kalau orang kaya enggak peduli, mereka enggak terganggu. Kalau yang di bawah ini, kepedulian mereka terhadap sesama itu lebih tinggi, makanya kalau ada sesuatu yang tidak adil terjadi itu langsung bergerak mereka," ujarnya.
Kepentingan Elektoral 2019Pandangan berbeda disampaikan peneliti gerakan radikalisme dari UIN Syarif Hidayatullah M Zaki Mubarak. Ia menilai kemunculan ulama yang berceramah dengan nada keras dan provokatif semakin marak pasca-berakhirnya masa jabatan Presiden RI keenam Soesilo Bambang Yudhoyono.
Sejak 2014, Zaki melihat kecenderungan fragmentasi politik dan sejumlah isu seperti anti-Islam hingga asing yang selama ini digaungkan semakin menguat.
"Di masa awal reformasi sampai zamannya Pak SBY itu kan fenomena ulama yang keras itu jarang. Setelah pemilu 2014 sampai sekarang makin bermunculan karena fragmentasinya masih berlangsung," katanya.
Menurut Zaki, tiap ulama memang memiliki cara sendiri untuk menjalankan amar ma'ruf nahi munkar. Terdapat sejumlah ulama yang memang melakukannya dengan cara santun dan lemah lembut. Namun tak jarang pula yang melakukannya dengan cara keras.
Ia sendiri melihat ada pergeseran makna dari cara ulama menjalankan prinsip nahi munkar tersebut. Hal itu, menurutnya, tak lepas dari kepentingan elektoral 2019.
"Dulu ada ulama yang keras untuk nahi munkar tapi terkait peribadahan. Misal, beberapa ulama yang dekat dengan SBY saat itu cukup keras melawan perjudian, miras, mabuk-mabuk, kadang juga razia. Sisanya lebih ke keagamaan," terang Zaki.
Zaki menilai upaya untuk nahi munkar itu saat ini bukan lagi soal perjudian melainkan bergeser ke arah politik. "Jadi ada pergeseran. Saya lihat sekarang lebih ke elektoral, mereka terbawa ke arus itu. Mungkin ada salah satu pihak yang diuntungkan," ucapnya.
Massa Front Pembela Indonesia (FPI) saat melakukan aksi di Jakarta. (CNN Indonesia/Hesti Rika) |
Terlepas dari hal itu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa ulama yang berceramah dengan nada keras dan provokatif tetap memiliki massa dan banyak pengikut.
Bahar misalnya, sebagai pemimpin Majelis Pembela Rasulullah, pengikutnya mencapai ratusan orang yang berdomisili di kawasan Tangerang dan Jakarta Selatan.
Namun sebaliknya, menurut Zaki, pengikut ulama yang ceramah dengan nada keras dan provokatif justru tak terlalu banyak jika dibandingkan pengikut ulama moderat.
"Ulama-ulama moderat, (pengikutnya) jauh lebih banyak. Hanya saja tidak kelihatan di permukaan karena mereka sulit dimobilisasi," katanya.
Ia mengatakan ada sejumlah faktor yang memengaruhi massa untuk mendengarkan ceramah seorang ulama. Di antaranya adalah alasan ekonomi dan ideologis.
Menurut Zaki, massa yang mendengarkan ceramah ulama dengan nada keras dan provokatif umumnya berasal dari masyarakat kalangan menengah ke bawah. Mereka secara ekonomi termarginalkan sehingga mudah dimobilisasi dan akan mencari pembelaan melalui ceramah-ceramah tersebut.
"Ya, ada kemungkinan (lebih banyak) menengah ke bawah, karena dalam persepsi mereka merasa terpinggirkan kemudian melalui ceramah yang mengatakan kebijakan sekarang anti-rakyat, pro asing, itu mereka merasa dibela," ucap Zaki.
Di sisi lain, ia juga melihat perbedaan karakteristik umat Islam yang tinggal di sejumlah daerah di Jawa seperti Jawa Barat dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Meski tak menjelaskan secara rinci, menurutnya, umat Islam yang tinggal di Jawa Barat lebih konservatif.
"Karakter muslim di Jabar itu beda. Enggak heran kan kalau sebagian besar (muslim Jabar) hadir di aksi bela Islam 212," katanya.
(psp/pmg)