Pandeglang, CNN Indonesia -- Mendung memayungi kawasan
kampung nelayan Teluk Labuan,
Pandeglang, Banten, sejak Selasa pagi (24/12). Kondisi sangat basah lantaran hujan yang tak kunjung benar-benar berhenti.
Kadang deras, kadang gerimis, berhenti sejenak, lalu hujan lagi. Angin pun terus bertiup. Laut juga tidak terlihat jelas meski sudah berada di tepi pantai. Ada kabut yang menghalangi, sinar kilat pun kerap kali muncul.
Kondisi cuaca itu seolah melengkapi kesedihan Mu'in, warga kampung nelayan Teluk Labuan. Benaknya dipeluk kekalutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baru hari ini Mu'in kembali ke lingkungan tempat tinggalnya. Sejak Sabtu malam lalu dia mengungsi ke Kalumpang, daerah yang agak jauh dengan dataran lebih tinggi. Kata para ahli, dataran tinggi aman dari gelombang tsunami.
"Baru hari ini saya berani mau pulang lihat rumah. Kemarin-kemarin masih takut," kata Mu'in saat ditemui di kampung nelayan Teluk Labuan, Pandeglang, Banten, Selasa (25/12).
Sekembalinya ke kampung, Mu'in mendapati situasi yang porak poranda. Panorama kelabu hadir di sepanjang mata memandang.
Kapal rusak terdampar tak keruan. Ikan-ikan hasil tangkapan nelayan tergeletak tak terurus. Bangunan berbeton tebal rusak parah. Rumah-rumah semi permanen hanya tinggal puing berserakan bersama sampah yang menggunung.
"Saya juga sudah enggak tahu rumah saya hanyut ke mana. Barang-barang saya juga enggak tahu di mana," kata Mu'in.
Mu'in memang sudah memprediksi rumahnya rusak akibat gelombang tsunami. Namun, dia yakin bangunan tidak hancur seluruhnya. Mu'in yakin akan hal itu lantaran rumahnya tidak persis di dekat pantai, atau terhalang dengan bangunan lain.
Walhasil, Mu'in sedih bukan kepayang ketika mendapati kampung nelayan sudah rata dengan tanah. Termasuk bangunan tempat bernaungnya selama ini.
"Saya niat pulang lihat rumah karena masih yakin berdiri bangunannya. Ada barang yang bisa dibawa. Tapi ini semuanya hancur," ucap Mu'in.
"Saya jalan kaki dua jam dari pengungsian ke sini. Enggak dapat apa apa," ucapnya.
Dia mengutarakan hal tersebut seraya mengais puing-puing di bawah kakinya. Mu'in yakin di sanalah letak rumahnya. Akan tetapi, sudah tidak ada apapun. Semuanya rata dengan tanah, barang-barang bercampur dengan sampah.
Maman mengalami pengalaman yang serupa pahitnya. Dia nelayan layaknya Mu'in. Saat ditemui, Maman tengah berdiri di reruntuhan bangunan. Bola matanya berkeliling melihat apa yang ada di sekitarnya.
"Ini rumah saya," kata Maman seraya menunjuk ke bawah.
Apa yang ditunjuk Maman hanyalah puing puing tembok, kasur, parabola, sofa, dan mesin cuci yang menggunung. Sudah tidak berbentuk rumah.
Maman masih bersyukur dirinya dan keluarga selamat dari terjangan tsunami. Pada sabtu malam (22/12), Maman mengaku tengah memancing sambil mengobrol dengan para tetangganya.
Oleh karena tengah berada di luar rumah dan menghadap laut, Maman bisa lekas menjauhi pantai ketika melihat tebing air yang tinggi datang dari tengah laut.
"Tetangga saya enggak tahu. Ada yang belum ketahuan di mana sampai sekarang. Kalau enggak di bukit, ngungsi, ya mungkin kena tsunami," kata Maman.
(bmw/lav)