Jakarta, CNN Indonesia -- Status
Gunung Anak Krakatau pada Kamis (27/12) dinaikkan dari Level II (Waspada) menjadi Level III (Siaga). Status ini dinaikkan setelah gunung tersebut mengalami gempa tremor atau gempa yang bisa mengindikasikan aktivitas vulkanik di gunung api.
Jika gempa tremor terjadi, maka mengindikasikan sebuah gunung berpotensi meletus. Berdasarkan data dari Stasiun Sertung, dekat kawasan Gunung
Anak Krakatau di Selat Sunda, gempa tremor terjadi terus menerus dengan amplitudo 9-35 mm (dominan 25 mm).
Selain mengalami kegempaan tremor, Gunung Anak Krakatau juga terpantau mengeluarkan asap hitam tebal serta awan panas ke kawasan sekitarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pantauan dari pos pengamatan periode pengamatan 26 Desember 2018, pukul 00.00 sampai dengan 24.00 WIB, menunjukkan visual gunung jelas hingga kabut 0-III.
Jauh sebelum hari ini, Anak Krakatau sudah berada di Level II sejak 2012 silam. Gunung itu kembali aktif dengan erupsi pada pertengahan 2018.
Dihimpun berbagai sumber, Anak Krakatau 'lahir' pada 11 Juni 1927 dengan komposisi magma basa muncul di pusat kompleks Krakatau.
Kelahiran Anak Krakatau ini hanya berjarak sekitar 40 tahun setelah meletusnya Gunung Krakatau pada Agustus 1883. Saat itu letusan Krakatau bersama letusan Gunung Tambora (1815) disebut-sebut mencatatkan nilai Volcanic Explosivity Index (VEI) terbesar dalam sejarah modern. Bahkan The Guiness Book of Records mencatat ledakan Krakatau sebagai ledakan yang paling hebat yang terekam dalam sejarah.
Erupsi Krakatau pada 1883 itu disebut sebagai ledakan yang paling besar, paling keras, dan peristiwa vulkanik yang paling meluluhlantakkan dalam sejarah manusia modern.
Suara letusannya terdengar sampai 4.600 kilometer dari pusat letusan dan bahkan dapat didengar oleh 1/8 penduduk bumi saat itu.
Krakatau memulai erupsi besarnya pada Mei 1883. Saat itu terdengar dentuman keras selama beberapa jam di Batavia (Jakarta), Bogor, Purwakarta, Palembang, hingga Singapura. Terlihat asap setinggi 11 kilometer dan debu vulkanik yang dibawa angin sejauh 550 kilometer.
Erupsi kembali terjadi pada 26 Agustus 1883. Krakatau meletus dengan magnitudo 6 skala VEI. Esok harinya pukul 10.02 WIB, erupsi paling dahsyat terjadi. Letusannya menciptakan kaldera bawah laut selebar 7 kilometer dan kedalaman mencapai 250 meter.
Letusan Krakatau ini juga menciptakan gelombang tsunami setinggi 30 meter. Jalaran tsunami terjauh mencapai Port Elizabeth di Afrika Selatan.
Selama 20 jam 50 menit setelah letusan pertama, Krakatau masih mengamuk. Tubuh gunung lalu ambruk ke dasar laut, memicu tsunami yang menghancurkan pesisir Banten dan Lampung, menghabiskan sekitar 163 desa. Jumlah korban tewas tercatat mencapai 36.417 orang.
Kekuatan Erupsi setara 21.574 bom atom yang meledak di Hiroshima dan Nagasaki. Jutaan kubik abu vulkanik menyebabkan gelap berkepanjangan dan menyebabkan bencana susulan lain seperti kegagalan panen dan kelaparan, wabah penyakit, hingga pemberontakan Petani Banten 1888.
Krakatau PurbaLetusan Krakatau 1883 disebut bukan yang terdahsyat. Berbagai sumber menyebutkan, ratusan tahun sebelumnya diprediksi ada Gunung Krakatau Purba, induk dari Krakatau yang meletus pada 1883.
Jejak Krakatau Purba dilihat dari sejumlah catatan sejarah, salah satunya teks Jawa Kuno berjudul 'Pustaka Raja Parwa' yang diperkirakan berasal dari tahun 416 Masehi. Dalam buku Pustaka Raja Parwa tersebut, tinggi Krakatau Purba mencapai 2.000 meter di atas permukaan laut, dan lingkaran pantainya mencapai 11 kilometer.
"
Ada suara guntur yang menggelegar berasal dari Gunung Batuwara. Ada pula goncangan bumi yang menakutkan, kegelapan total, petir dan kilat. Kemudian datanglah badai angin dan hujan yang mengerikan dan seluruh badai menggelapkan seluruh dunia. Sebuah banjir besar datang dari Gunung Batuwara dan mengalir ke timur menuju Gunung Kamula. Ketika air menenggelamkannya, Pulau Jawa terpisah menjadi dua, menciptakan Pulau Sumatera," salah satu isi buku Pustaka Raja Parwa.
Sejumlah ahli geologi memperkirakan Gunung Batuwara itu adalah Krakatau Purba. Akibat ledakan yang hebat itu, tiga perempat tubuh Krakatau Purba hancur menyisakan kaldera (kawah besar) di Selat Sunda.
Sisi-sisi atau tepi kawahnya dikenal sebagai Pulau Rakata, Pulau Panjang dan Pulau Sertung. Letusan gunung ini disinyalir menyebabkan terjadinya abad kegelapan di muka bumi. Penyakit sampar bubonic terjadi karena temperatur mendingin lantaran tidak ada sinar matahari. Sampar ini secara signifikan mengurangi jumlah penduduk di muka bumi.
Letusan Krakatau Purba ini juga dianggap turut andil atas berakhirnya masa kejayaan Persia purba, transmutasi Kerajaan Romawi ke Kerajaan Byzantium, berakhirnya peradaban Arabia Selatan, punahnya kota besar Maya, Tikal, dan jatuhnya peradaban Nazca di Amerika Selatan yang penuh teka-teki.
Ledakan Krakatau Purba diperkirakan berlangsung selama 10 hari dengan perkiraan kecepatan muntahan massa mencapai 1 juta ton per detik. Ledakan tersebut telah membentuk perisai atmosfer setebal 20-150 meter, menurunkan temperatur sebesar 5-10 derajat selama 10-20 tahun.
 Ilustrasi letusan Gunung Krakatau pada 1883. (Wikipedia). |
Gunung RakataSatu dari tiga pulau tersisa ledakan Krakatau Purba, yakni Pulau Rakata kemudian tumbuh. Pertumbuhan ini karena dorongan vulkanik dari dalam perut gunung. Pertumbuhan yang cepat membuat pulau ini menjadi gunung yang dikenal sebagai Gunung Rakata yang terbuat dari batuan basaltik.
Tak cuma itu, dua gunung api juga muncul dari tengah kawahnya, bernama Gunung Danan dan Gunung Perbuwatan. Dua gunung itu lama kelamaan menyatu dengan Gunung Rakata yang muncul terlebih dahulu. Persatuan ketiga gunung api inilah yang disebut Gunung Krakatau.
Gunung ini pernah meletus pada 1680 menghasilkan lava andesitik asam. Lalu pada tahun 1880, Gunung ini kembali aktif mengeluarkan lava meskipun tidak meletus.
Setelah itu, tidak ada lagi aktivitas vulkanis di Gunung Krakatau hingga 20 Mei 1883. Pada hari itu, setelah 200 tahun tertidur, terjadi ledakan-ledakan kecil. Itulah tanda-tanda awal bakal terjadinya letusan dahsyat di Selat Sunda. Ledakan kecil ini kemudian disusul dengan letusan-letusan kecil yang puncaknya terjadi pada 26-27 Agustus 1883.
Anak KrakatauSekitar 40 tahun sejak letusan Krakatau, muncul gunung api yang dikenal sebagai Anak Krakatau. Gunung api ini muncul dari kawasan kaldera Krakatau Purba yang masih aktif.
Anak Krakatau terus bertambah tingginya. Kecepatan pertumbuhan tingginya sekitar 0.5 meter atau 20 inci per bulan. Setiap tahun ia menjadi lebih tinggi sekitar 6 meter atau 20 kaki dan lebih lebar 12 meter atau 40 kaki.
Penyebab tingginya gunung itu disebabkan oleh material yang keluar dari perut gunung baru itu.
Pertumbuhan Anak Krakatau dari kaldera purba ini menjadi perhatian para ahli geologi. Sebab dengan kejadian menakutkan pada masa lampau, berdasar realita-realita geologi, seismik serta tektonik di Jawa dan Sumatera yang aneh, tak menutup kemungkinan bisa kembali terulang.
Tak ada yang tahu pasti kapan Anak Krakatau akan meletus. Beberapa ahli geologi memprediksi letusan akan terjadi antara 2015 hingga 2083.
Sementara ahli lainnya menyebut efek gempa di dasar Samudera Hindia pada 26 Desember 2004 silam tak bisa diabaikan karena bisa berpengaruh pada meningkatnya aktivitas vulkanik Anak Krakatau yang berpotensi menjadi letusan.
Namun Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyatakan Gunung Anak Krakatau letusannya tak akan sebesar ibunya.
Pasalnya saat Krakatau meletus tahun 1883, ada tiga puncak gunung, yakni Rakata, Danan, dan Perbuwatan.
Sementara saat ini di Selat Sunda hanya ada satu puncak, yakni Anak Krakatau.