Ahli hukum pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Muzakir justru mempertanyakan kapasitas Yusril yang begitu gencar melompati kewenangan Kementerian Hukum dan HAM karena sejak awal terlalu aktif dalam upaya pembebasan Ba'asyir.
"Ini menjadi tanda tanya besar, seharusnya Ditjen Pemasyarakatan di bawah Kemenkum HAM yang berwenang untuk mengumumkan tentang kondisi kesehatan Abu Bakar Ba'asyir bukan Yusril," katanya.
Ditjen PAS dan Menkum Ham, kata Muzakir, harus segera mengeluarkan rekomendasi, misalkan, "karena kondisi narapidana atas nama Abu Bakar Ba'asyir maka yang bersangkutan dibebaskan..."
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi, selama ini, kabar pembebasan hanya bersumber dari Yusril.
"Itu melebihi kewenangan Kemenkum HAM, padahal sampai saat ini belum ada rekomendasi dari Ditjen PAS atau Kemenkum HAM," katanya. "Penegakan hukum harus jelas."
Terkait posisi hukum Ba'asyir, Muzakir menjelaskan, Ba'asyir berhak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat setelah menjalani dua per tiga masa tahanan. Ba'asyir dijatuhi hukuman 15 tahun penjara pada tahun 2011 karena terlibat kasus pelatihan terorisme di Jantho, Aceh.
"Kalau dihitung telah mendekati pembebasan bersyarat dan demi hukum harus dibebas bersyarat," katanya.
Kata dia, syarat tentang penandatangan janji setia kepada Pancasila dan NKRI bisa dikesampingkan dengan alasan kemanusiaan.
Selama ini Ba'asyir berpandangan melaksanakan Agama Islam berarti melaksanakan Pancasila. Hal itu bisa menjadi pertimbangan tersendiri, mengingat sila pertama Pancasila adalah Ketuhanan yang Maha Esa.
"Jangan sampai hanya karena Pancasila seseorang tidak bisa mendapatkan pembebasan bersyarat, bukankah sila kedua Kemanusiaan yang adil dan beradab. Lalu, melihat kondisi Ba'asyir," kata Muzakir. "Dan pemerintah tak membebaskan, justru orang tersebut yang tak beradab dan justru dia yang wajib menandatangani janji setia Pancasila."
(kid/ugo/dea)