Jakarta, CNN Indonesia -- Wacana pembebasan
Abu Bakar Ba'asyir dinilai tak bakal menimbulkan pengaruh besar pada bibit gerakan radikalisme dan
terorisme di Indonesia saat ini.
"Saya pikir enggak akan terlalu berpengaruh banyak. Tidak terlalu berdampak negatif banyak. Karena kecenderungannya tidak mengarah kepada satu orang karena tidak membutuhkan suatu fatwa untuk melakukan amaliyah," ujar praktisi Antiterorisme, Rakyan Adibrata kepada
CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Rabu (23/1).
Rakyan pun menilai perdebatan soal syarat pembebasan Ba'asyir harus membubuhkan sumpah tertulis pada Pancasila tidak akan menimbulkan gejolak di kalangan simpatisan Ba'asyir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebaliknya, kata Rakyan, simpatisan dan pendukung Ba'asyir pun akan merasa senang jika mantan pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia itu menolak berikrar setia kepada Pancasila lalu tidak jadi dibebaskan. Karena, lanjut Rakyan, hal tersebut menunjukkan bahwa Ba'asyir teguh dalam pendiriannya.
"Karena kalau saya adalah pengikutnya [Ba'asyir], dan kemudian ternyata ABB tidak tanda tangan [ikrar], saya akan merasa bahagia karena ABB tetap pada pandangannya," kata dia.
Berbeda dengan Rakyan, Wakil Direktur Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) Universitas Indonesia Benny J Mamoto menilai kebimbangan pemerintah dalam merencanakan pembebasan Ba'asyir dinilai dapat memicu protes. Walaupun, ia belum melihat kecenderungan kuat kemungkinan tersebut.
"Kalau dinamika terorisme, segala kemungkinan bisa terjadi dengan adanya ini. Kemudian ada yang memprovokasi, kemudian ada yang ingin melakukan aksi protes, dan sebagainya itu bisa terjadi," kata Benny secara terpisah.
Sementara itu, Dosen Kajian Terorisme Universitas Indonesia M Sya'roni Rofii berpendapat rencana pembebasan yang tadinya beralasan aspek kemanusiaan cukup menarik simpatisan Ba'asyir.
"Sejauh ini simpatisan Ba'asyir seperti menyambut akan kebebasan beliau, bahkan ada yang dari luar Indonesia sengaja datang ke Indonesia untuk bertemu [Ba'asyir]," ujarnya.
Namun, kata Sya'roni, hal ini tidak akan menimbulkan gejolak apapun karena pemerintah memperketat pengamanan Ba'asyir.
"Sejauh ini hanya keluarganya yang bisa bertemu. Saya melihat aparat berusaha membentengi keluarnya Ba'asyir jangan sampai menjadi permulaan
regrouping," ucapnya.
Regrouping atau penyatuan kembali kelompok-kelompok kecil terorisme tak bisa dibilang tak akan terjadi apabila simpatisan ataupun kelompok lainnya merasa pimpinannya diintimidasi. Hal tersebut, kata Sya'roni, bisa menjadi legitimasi atau alasan pembentukan kembali kelompok teroris.
"Pola teror selalu ada sebab akibat. Ketika teman-teman mereka diintimidasi, ada pembalasan. Jadi gerakan ISIS di Suriah, misalnya, dideklarasikan sebagai bentuk pembalasan terhadap kesewenangan rezim berkuasa. Itu adalah legitimasinya," kata Sya'roni.
Ancaman TerorismeRakyan mengatakan hal yang paling perlu diperhatikan dalam menanggapi ancaman perkembangan terorisme dan bibit radikalisme di Indonesia adalah pada individu-individu. Hal ini, menurut dia disebabkan kemajuan teknologi yang memungkinkan rekaman suara, video dan buku-buku yang dibuat orang lalu semakin cepat untuk bisa diakses.
"Tantangannya sebetulnya lebih besar
self-radicalism. Karena kita hidup di era digital, semuanya
digitalized, audio-audio, buku-buku milik ABB [Abu Bakar Ba'asyir]. Dengan demikian konten itu akan terus ada di dunia maya," ujarnya.
Oleh karena itu, ia pun berpendapat penutupan website dan akun-akun media sosial yang berafiliasi dengan radikalisme dan tindak terorisme tidak akan menyelesaikan masalah.
Sementara itu, Benny mengatakan meskipun di tahun 2018, pemerintah dinilai sudah cukup sukses melakukan pengamanan terhadap aksi terorisme. Meskipun begitu, tak serta merta ancaman terorisme telah tiada.
Benny berpendapat sama dengan Rakyan, fokus pada ancaman perkembangan radikalisme dan terorisme yang semakin cepat karena penggunaan teknologi. Menurut dia, saat ini tak seperti pola rekrutmen era Jamaah Islamiyah lama yakni bertatapan muka dan mendalam dari sisi ideologinya.
"Kalau sekarang masif, tidak
face to face, tidak terlalu dalam, hanya gejolak anak muda yang ingin menyalurkan emosi dan amarahnya," kata dia.
(ani/kid)