ANALISIS

Kampanye Hitam, Perusak Demokrasi dan Pembidik Pemilih Galau

CNN Indonesia
Rabu, 27 Feb 2019 06:53 WIB
Kampanye hitam disebut hal yang kontraproduktif dalam iklim demokrasi, namun tetap dilakukan para kontestan dengan memanfaatkan celah-celah hukum.
Bangsa Indonesia akan menentukan masa depan lima tahun ke depan lewat pemilu yang digelar serentak pada 17 April 2019. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Pengamat politik dari lembaga KedaiKopi, Kunto Adiwibowo, pun sepaham dengan Idil bahwa kampanye hitam akan efektif di daerah yang masyarakatnya belum menentukan pilihan.

"Kalau berhasil memunculkan kecemasan yang tinggi maka akan efektif, karena kecemasan itu pintu masuk perubahan sikap," ujar Kunto.

Menurut Kunto, kampanye-kampanye hitam sendiri belum akan berhenti jelang pemungutan suara pemilu 2019 pada 17 April mendatang. Pasalnya, kata dia, salah satunya berdasarkan hasil survei lembaganya ditemukan data bahwa sebanyak 35 persen pemilih akan menentukan pilihan di masa tenang atau sekitar sepekan sebelum hari pemungutan suara berlangsung.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Lebih dari 35 persen pemilih akan menentukan pilihan di hari tenang atau hari H. Jadi sekarang sudah punya tendensi tapi belum bulat, semakin dekat hari H itu biasanya yang akan menempel akan dibawa ke tempat pemungutan suara," kata dia.

"Jadi kita akan lihat pertarungan besar-besaran di akhir kampanye," ucap Kunto menambahkan.


Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute (IPI) Karyono Wibowo pun senada dengan Kunto mengenai pertarungan keras jelang detik-detik akhir pemungutan suara.

Karyono mengatakan kampanye hitam menjadi salah satu model yang digunakan pendukung atau tim kandidat di lokasi yang peta kekuatannya dalam kontestasi elektoral bisa dikatakan masih di bawah kompetitornya. Hal tersebut, kata dia, pun sama modelnya dengan yang terjadi di negara-negara penganut sistem demokrasi lain.

Namun menurut Karyono, model kampanye hitam buruk dan kontraproduktif bagi perkembangan demokrasi. Pasalnya kampanye hitam cenderung mengabarkan isu-isu atau berita bohong (hoaks) untuk mendegradasi elektoral lawan politik.

"[Penyebaran kampanye hitam] sulit hilang, meskipun di Indonesia sendiri sudah ada aturannya dalam undang-undang dan PKPU," ujar dia.

Para kontestan Pilpres 2019, Capres nomor urut 01 Joko Widodo dan Capres nomor urut 02 Prabowo Subianto. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Mencegah Peredaran Kampanye Hitam

Untuk mencegah beredarnya kampanye hitam, kata dia, perlu andil semua pihak dari mulai penyelenggara pemilu, penegak hukum, hingga kontestan serta para pendukungnya. Ia pun mengkritik penandatanganan pakta integritas sebelum gelaran proses pemilu sebagai upaya seremonial belaka karena hasilnya kampanye hitam masih banyak beredar di masing-masing kubu.

Butuh ketegasan dan komitmen moral dalam melaksanakan undang-undang, serta penegakan hukum yang tegas pula tanpa memerhatikan pertimbangan politis.

Hal yang perlu diperhatikan lagi dalam peniadaan kampanye hitam adalah dugaan tim atau relawan kandidat menggunakan simpatisan di luar struktur untuk melakukan tugas tersebut.

"Kontestan, atau kandidat, atau tim paslon selalu menepis. Kalau ada yang black campaign semuanya menolak, tidak mengakui. Mereka mengatakan itu bukan bagian dari tim," kata Karyono.

Karyono mengatakan daripada model kampanye hitam, dalam tataran kontestasi demokrasi sebetulnya ada dua hal yang diperbolehkan yakni kampanye negatif dan positif. Dua model kampanye terakhir tersebut, katanya, diperbolehkan karena muncul berbasiskan fakta dan data untuk menjatuhkan lawan politik.

"Sebaliknya kalau black campaign cenderung hoaks, karena tidak bisa dipertanggungjawabkan dari segi data," ujar Karyono seraya menegaskan itulah yang membuat model kampanye hitam cenderung merusak demokrasi.

(mts/kid)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER