Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Staf Kepresidenan (KSP)
Moeldoko mengatakan penetapan
Robertus Robet sebagai tersangka penghinaan terhadap lembaga TNI merupakan wilayah Polri. Menurut Moeldoko, pemerintah tak bisa ikut campur dalam proses hukum terhadap aktivis HAM yang juga akademisi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu.
"Terhadap apa yang pada akhirnya mengarah pada tindakan-tindakan yang melawan hukum itu di luar domain kami, itu sepenuhnya domain tugas kepolisian. Kami tidak bisa ikut campur," kata Moeldoko di Kantor Staf Kepresidenan, Jakarta, Jumat (8/3).
Moeldoko mengklaim pemerintah memberikan ruang kepada siapapun untuk menyampaikan ekspresinya, termasuk kritik. Mantan Panglima TNI itu meminta masyarakat untuk membedakan saat menyampaikan ekspresinya, mana kritik yang membangun dan yang melanggar undang-undang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Moeldoko tak ingin masyarakat menyampaikan kritik tanpa berpikir panjang terlebih dahulu.
"Kalau sifatnya kritik membangun presiden dengan sangat terbuka. KSP membuka seluas-luasnya, silakan ngomong apa saja kami dengarkan. Tidak ada kami alergi dan membatasi cara berekspresi," ujarnya.
"Jangan ada kecenderungan sekarang ini ngomong aja, begitu kena semprit minta maaf. Kedua, kecenderungan tidak mengaku, eh ini bukan kami," tuturnya.
Pensiunan jenderal bintang empat itu menyebut pernyataan yang disampaikan saat melontarkan kritik memiliki implikasi, baik psikologi, politik, maupun hukum. Menurut dia, bila dinilai melanggar hukum maka akan berurusan dengan penegak hukum.
"Ini hal yang perlu kita pikirkan bersama. Sehingga cara-cara untuk subsistem bernegara itu bisa menjadi sebuah sistem yang baik, jangan nanti ngaco gitu," ujarnya.
Sebelumnya, Robertus Robet, aktivis HAM yang juga akademisi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ditangkap pada Rabu (6/3) malam.
Robet ditetapkan sebagai tersangka dugaan penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang ada di Indonesia karena orasinya saat Aksi Kamisan akhir 28 Februari 2019 lalu.
Robet mengakui dirinya berorasi pada Aksi Kamisan. Dalam orasi tersebut, Robet mengambil penggalan lagu plesetan yang mencatut nama ABRI.
"Dan oleh karena orasi itu, saya telah menyinggung dan dianggap menghina lembaga atau institusi, saya pertama-tama ingin menyatakan permohonan maaf, tidak ada maksud saya untuk menghina atau merendahkan institusi TNI yang sama-sama kita cintai," kata Robet.
Robet diduga melanggar Pasal 45 ayat (2) jo Pasal 28 ayat (2) UU ITE dan atau Pasal 14 ayat (2) jo Pasal 15 UU Nomor 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan atau pasal 207 KUHP.
Karopenmas Divisi Humas Polri, Kombes Dedi Prasetyo. (CNN Indonesia/Safir Makki). |
Penangkapan Robet Sudah ProfesionalSementara itu Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo menanggapi penyataan para aktivis bahwa penangkapan Robertus yang berlebihan. Dedi mengatakan bahwa penangkapan dan proses hukum terhadap Robertus Robet sudah dilakukan secara profesional.
"Enggaklah (berlebihan), kita melakukan secara profesional," kata Dedi, di Gedung Divisi Humas Polri, Jakarta Selatan, Jumat (8/3).
Dedi menjelaskan kebebasan ekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum memang dilindungi oleh Undang-Undang No 9 Tahun 1998. Namun undang-undang ini memiliki batasan limit aktif yang harus benar-benar ditaati oleh warga negara.
"Tapi tolong bahwa di dalam undang-undang ini tidak bersifat absolut, ada batasan, ada limit aktif yang harus betul-betul ditaati oleh warga negara," jelasnya.
Dedi mencontohkan, Pasal 6 misalnya bahwa kebebasan pendapat di muka umum harus dilihat dari 5 hal yaitu menghargai hak orang lain, menghormati aturan moral yang diakui dimuka umum, menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjaga dan menghormati keamanan ketertiban umum, serta menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.
"Apalagi dia menyampaikan pendapat menurut dia semau-maunya dia, sementara ada pihak-pihak yang dirugikan dari ucapan narasi yang disampaikan dan sangat jauh dari fakta dan data yang disampaikan secara verbal. Ini kan merugikan orang lain," ujar Dedi.
(sas/fra/osc)