Jakarta, CNN Indonesia -- Beberapa
pustakawan menjawab tudingan tak sedap terhadap pemusnahan sejumlah buku, tesis, dan disertasi di Pusat Data dan Dokumentasi Ilmiah (PDDI) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (
LIPI). Kompak mereka menegaskan bahwa pemusnahan itu kegiatan rutin yang dijalankan berkala di setiap perpustakaan.
Ditemui di kantornya, Pelaksana Tugas Kepala PDDI Hendro Subagyo menjelaskan bahwa pemusnahan buku, tesis, dan disertasi yang mereka lakukan adalah kegiatan
weeding atau penyiangan. Bersama beberapa pustakawan LIPI, Hendro menjelaskan kegiatan itu sejatinya berjalan setiap rutin tiap tahun. Akan tetapi, lembaganya menunggak kewajiban itu empat tahun belakangan.
"Namanya proses
weeding itu, proses normal di perpustakaan di mana pun dan kita sudah lama enggak weeding. Terakhir 2015, padahal itu harusnya setiap tahun," ucap Hendro kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (12/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Weeding atau penyiangan merupakan proses pemilahan koleksi di perpustakaan yang dianggap tak lagi relevan dengan sejumlah faktor.
Tupan, pustakawan utama LIPI, merinci kriteria koleksi yang bisa disiangi, seperti informasi yang dikandung koleksi tidak lagi relevan dengan situasi saat ini, koleksi tak lagi dicari selama 3-5 tahun, hingga ruang penyimpan yang sudah melebihi kapasitasnya.
Ini selaras dengan jurnal yang ditulis Jeanette Larson (2012) berjudul Crew: a weeding manual for modern libraries. Texas: Texas State Library and Archives Commission. Dalam tulisannya itu, Larson menyebut sejumlah kategori untuk
weeding seperti kualitas konten yang tak lagi layak, kondisi fisik koleksi, dan koleksi yang tak lagi dipakai.
Pustakawan LIPI menyanggah asumsi banyak orang mengenai pemusnahan buku di tempatnya dilakukan secara serampangan. Mereka menegaskan setiap koleksi, baik itu buku, tesis, ataupun disertasi yang mereka musnahkan, dipastikan hanya salinannya belaka, sehingga buku dengan cetakan yang sama sudah dipastikan masih tersedia di tempat lain.
Alhasil, meskipun nanti ada seseorang yang mencari judul koleksi yang sudah tak ada di LIPI, mereka dapat memberi tahu tempat yang menyimpan salinan atau cetak asli koleksi tersebut.
"Kami paham mereka sangat menghargai pengetahuan, tapi enggak tepat juga kalau mengatakan prosedur kita tanpa tahu persoalannya seperti apa," kata Pustakawan Muda LIPI, Dwi Untari menanggapi tudingan dari beberapa peneliti senior mengenai pemusnahan buku.
"Kita pustakawan sudah mengikuti prosedur dan apa yang diungkapkan peneliti-peneliti itu sebenarnya mereka tidak memahami secara keilmuannya," ucapnya.
Sejatinya, PDDI LIPI memiliki koleksi yang terdiri dari barang milik negara (BMN) yang dibeli dengan uang negara dan pemberian lembaga lain seperti universitas. Salah satu jenis koleksi yang memenuhi ruang PDDI adalah salinan tesis dan disertasi ini.
Saat PDDI menerima kiriman tersebut, mereka wajib menganalisisnya dan mendokumentasikannya hingga menjadi metadata.
Namun, Hendro mengatakan banyak di antara tesis dan disertasi itu terbit pada 1990-an dengan kondisi fisik buruk serta konten yang makin tak relevan.
"Jadi kalau diproses pun pegawai saya yang sakit nanti," kata Hendro sambil bergurau.
Tesis, disertasi, dan laporan penelitian itu yang dianggap menjadi masalah baru bagi pustakawan LIPI. Tatkala mereka sudah lama tak melakukan
weeding, salinan fisik dari banyak pihak terus berdatangan, sementara kapasitas perpustakaan tak bertambah.
 Ilustrasi perpustakaan. (Istockphoto/Sergey Tinyakov). |
Bukan Karena ReorganisasiIsu reorganisasi kerap disebut-sebut yang melatarbelakangi pemusnahan buku di LIPI langsung dibantah. Pustakawan LIPI menolak isu tersebut.
Hendro menyebut kegiatan
weeding ini sebenarnya sudah dicanangkan sejak kepemimpinan LIPI sebelumnya dan mulai dikerjakan pada awal 2018.
"Kita dapat beban masa lalu,
weeding enggak dilakukan, kebetulan tahun ini, sudah numpuk banyak, kebetulan ada isu reorganisasi LIPI yang dikait-kaitkan. Padahal ini keputusan dari tahun sebelumnya, enggak ada urusan dengan reorganisasi," kata Hendro.
Hendro juga mengkritisi kabar mengenai koleksi yang mereka musnahkan begitu banyak hingga harus diangkut dua truk. Ia berargumen hal itu terjadi karena barang yang diangkut termasuk tak hanya buku, tapi juga barang-barang seperti kursi, meja, dan komputer yang semuanya sudah berumur.
"Lalu kenapa dilakukan tengah malam karena truk kan kalau jam segini susah lewat sini makanya harus di atas jam 9-10 malam," ujarnya.
Ramainya pemberitaan mengenai ucapan peneliti senior LIPI seperti Syamsuddin Haris dan Asvi Warman Adam yang mengaitkan pemusnahan buku dengan isu reorganisasi disebut sedikit banyak merepotkan para pustakawan.
Cahyo Trianggoro, peneliti Bidang Dokumentasi dan Informasi LIPI, mengaku semenjak isu mengenai pemusnahan buku ini mencuat ke publik dirinya banyak menerima pertanyaan dari rekan-rekan via pesan singkat. Tak ingin tinggal diam, Cahyo terpaksa harus meladeni pertanyaan tersebut untuk meluruskan isu yang berkembang.
Padahal di saat yang bersamaan, Cahyo punya tanggung jawab membaca dan menulis untuk penelitiannya.
"Itu yang minimal, belum lagi yang minta ketemu. Jadi sibuknya di situ," ujarnya.
Kendati demikian, Cahyo, Hendro, dan pustakawan LIPI lainnya berusaha tak begitu memusingkan isu miring terkait pemusnahan buku yang dikaitkan reorganisasi. Mereka yakin apa yang mereka lakukan sudah sesuai prosedur, hanya saja waktunya kebetulan berjalan seiring kebijakan reorganisasi.
"
Weeding ini kan pekerjaan normal. Persoalannya yang menggulirkan ini mengaitkan dengan proses reorganisasi, dibelokkan. Akhirnya lumayan
effort, tapi kita enggak bisa bilang dengan adanya ini kinerja kita menurun, target tetap ada," ucap Cahyo.
(bin/osc)