Jakarta, CNN Indonesia -- Menjelang proses pemungutan suara Pemilu 2019 yang makin dekat, Menkopolhukam
Wiranto ingin memastikan situasi kondusif bagi keamanan dalam negeri terutama selama masa kampanye.
Salah satu yang disorot Wiranto soal maraknya peredaran
hoaks terkait Pemilu Legislatif dan Pilpres 2019. Dia melontarkan gagasan bahwa pelaku hoaks bisa dijerat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme. Wacana mantan Panglima ABRI itu pun menuai prokontra.
Pengamat terorisme Rakyan Adibrata menilai jeratan UU 5/2018 tak mudah diterapkan, terutama dalam pembuktian pelaku hoaks terlibat aksi terorisme.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peneliti dari International Association for Counter-terrorism and Security Profesionals (IACSP) itu mengatakan definisi terorisme dalam UU 5 tahun 2018 mengatur banyak variabel sehingga suatu tindak pidana dapat disebut sebagai tindak pidana terorisme.
"Bila hanya memenuhi satu unsur saja, yaitu menyebarkan rasa takut yang meluas dalam masyarakat, menurut hemat saya masih tidak cukup kuat dapat disebut sebagai tindak pidana terorisme," katanya saat dihubungi Jumat (22/3).
Pada pasal 1 ayat 2 UU5/2018 dijelaskan terorisme adalah perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik, atau gangguan keamanan.
Pasal 1 ayat 3 dalam UU tersebut mendefinisikan kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.
Lalu, pada pasal 1 ayat 4 disebutkan ancaman kekerasan adalah 'setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat.
Itu artinya, menjerat pelaku hoaks mesti sesuai prosedur hukum yang dibuktikan Polri sesuai definisi dalam UU Nomor 5 Tahun 2018.
"Perlu diingat, definisi itu bukan pasal karet. Sehingga kalau tidak memenuhi unsur pidana, maka tidak bisa didakwa dengan UU No 5 Tahun 2018," katanya.
Untuk membuktikan sesuai definisi dalam UU 5/2018 itu, harus diawali dengan melihat niat awal pelaku.
"Bagi saya tergantung
mens rea atau niat awal pelaku. Kalau memang yang bersangkutan masuk dalam jaringan terorisme, sengaja menyebarkan hoaks dengan tujuan menyebarkan rasa takut yang meluas, yang dapat menimbulkan korban jiwa dan kerusakan fasilitas umum ataupun objek vital. Maka ya dapat dikenakan UU nomor 5 tahun 2018," kata Rakyan.
[Gambas:Video CNN]
Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Publik Pusat Hak Asasi Muslim (PUSHAMI) Jaka Setiawan menilai wacana Wiranto yang akan menjerat penyebar
hoaks dengan
UU Antiterorisme adalah pernyataan yang panik dan tidak memahami persoalan.
"Pernyataan itu menunjukkan dia gagal paham tentang Undang-Undang Terorisme. Sehingga, tidak lagi melihat perbedaan antara terorisme dengan hoaks," kata Jaka.
Menurut dia, jika dilihat dari segi substansi, UU Antiterorisme itu ini tidak bisa digunakan untuk membasmi hoaks. Hal ini merujuk pada definisi tentang teror yang dimaksudkan dalam UU Antiterorisme.
"Nah, jadi justru kalau dia mengatakan itu (hoaks harus diberantas dengan UU Terorisme), ini pembisiknya buat Wiranto malu," kata Jaka.
Tak hanya itu, Jaka juga mengingatkan tidak ada satu pasal pun yang mengatur tentang hoaks di UU Terorisme. Karenanya, ia menilai pernyataan Wiranto sangat berlebihan dan gagal paham.
"Jadi, tolong Wiranto dan pembantu-pembantunya baca UU Antiterorisme, jangan asal-asalan mengelola negara. Nanti bisa-bisa dia yang disebut teroris di mata rakyat Indonesia," kata dia.
Sementara itu, Ketua Fraksi Gerindra di DPR RI, Ahmad Muzani menilai pernyataan Wiranto tersebut berlebihan. Pria yang menjadi bagian dari Komisi I DPR RI itu mengatakan setiap pelanggaran telah diatur dan dijerat dengan undang-undang yang memang dibentuk atau diperuntukkan sesuai dengan aksi kejahatan yang dilakukan.
"Bagaimana mungkin undang-undang terorisme akan digunakan, misalnya terhadap pencurian," kata Muzani di kompleks DPR, Kamis (21/3).
Menurut politikus Gerindra tersebut, penegak hukum sudah semestinya memperlakukan undang-undang sesuai dengan kegunaannya saat disusun dan disahkan. Meski hoaks berpotensi ancaman, namun, kata dia, permasalahannya berbeda. Apalagi selama ini kasus hoaks telah ditangani dengan menggunakan UU ITE.
"Hoaks sebagai sebuah ancaman tidak ada yang tidak sepakat. Hoaks itu selama ini digunakan dengan Undang-Undang ITE jadi jangan merasa tidak mampu menanggulangi hoaks terus kemudian menggunakan undang-undang lain yang itu berpotensi kepada penyalahgunaan kekuasaan," ujar Muzani.
Senada, Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari menilai pernyataan Wiranto berlebihan terkait penindakan kasus hoaks.
Kharis menjelaskan penyebaran hoaks harus bisa dibedakan dengan terorisme. Menurut dia, jika hoaks dikategorikan menyebabkan keresahan maka bisa dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Harus bisa dibedakan antara hoaks dengan mengungkapkan pendapat, kalau yang sifatnya memang menyebar keresahan betul nanti biarkan UU ITE akan berbicara," kata politikus PKS itu.
Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Suhendra Ratu Prawiranegara, mengatakan hal serupa. "Terlalu lebay jika UU Terorisme diterapkan pada oknum-oknum yang diduga pembuat berita hoaks."
Sementara itu anggota DPR dari Fraksi Nasdem sekaligus Wakil Ketua TKN Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Johnny G Plate mengatakan pernyataan Wiranto itu sebagai peringatan bagi masyarakat agar berhati-hati dalam menyebarkan informasi.
Hal ini karena perbuatan yang bisa saja berasal dari ketidaksengajaan bisa berakibat terjerat undang-undang yang berat seperti Undang-Undang Terorisme.
"Pemerintah menyampaikan pada rakyat hati-hati karena ada undang-undang yang memungkinkan, yang mereka tidak saja kekhilafan biasa, tapi bisa dijerat dengan undang-undang yang cukup berat dampak hukumnya itu yang diingatkan oleh Pak Wiranto," ujarnya.
Sementara itu, Polri menegaskan dapat menjerat penyebar hoaks baik menggunakan UU Antiterorisme maupun UU ITE.
"Karena jika penyebar hoaks menciptakan ketakutan yang berlebih bisa masuk sebagai tindak pidana Terorisme," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo dalam keterangan tertulis, Kamis (21/3)
Dedi menuturkan, pelaku hoaks dalam UU Antiterorisme bisa dijerat terkait unsur ancaman kekerasan yang menimbulkan teror dan rasa takut. Selain itu, penyidik juga akan menyelidiki apakah pelaku masuk dalam jaringan terorisme tertentu.
Sedangkan yang kedua adalah pendekatan preventif yakni menerapkan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU ITE. Penerapan itu dilakukan terhadap pelaku yang tak masuk dalam jaringan tertentu dan unsur perbuatannya adalah menyebarkan hoaks.