ANALISIS

Menakar Jeratan UU Teroris untuk Pelaku Hoaks

CNN Indonesia
Senin, 25 Mar 2019 09:28 WIB
Wacana Menkopolhukam Wiranto soal pelaku hoaks bisa dijerat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Aparatur Sipil Negara mengenakan kaos LAWAN HOAX saat apel di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, 22 Maret 2019. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Direktur Kajian Strategis dan Kebijakan Publik Pusat Hak Asasi Muslim (PUSHAMI) Jaka Setiawan menilai wacana Wiranto yang akan menjerat penyebar hoaks dengan UU Antiterorisme adalah pernyataan yang panik dan tidak memahami persoalan.

"Pernyataan itu menunjukkan dia gagal paham tentang Undang-Undang Terorisme. Sehingga, tidak lagi melihat perbedaan antara terorisme dengan hoaks," kata Jaka.

Menurut dia, jika dilihat dari segi substansi, UU Antiterorisme itu ini tidak bisa digunakan untuk membasmi hoaks. Hal ini merujuk pada definisi tentang teror yang dimaksudkan dalam UU Antiterorisme.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Nah, jadi justru kalau dia mengatakan itu (hoaks harus diberantas dengan UU Terorisme), ini pembisiknya buat Wiranto malu," kata Jaka.


Tak hanya itu, Jaka juga mengingatkan tidak ada satu pasal pun yang mengatur tentang hoaks di UU Terorisme. Karenanya, ia menilai pernyataan Wiranto sangat berlebihan dan gagal paham.

"Jadi, tolong Wiranto dan pembantu-pembantunya baca UU Antiterorisme, jangan asal-asalan mengelola negara. Nanti bisa-bisa dia yang disebut teroris di mata rakyat Indonesia," kata dia.

Sementara itu, Ketua Fraksi Gerindra di DPR RI, Ahmad Muzani menilai pernyataan Wiranto tersebut berlebihan. Pria yang menjadi bagian dari Komisi I DPR RI itu mengatakan setiap pelanggaran telah diatur dan dijerat dengan undang-undang yang memang dibentuk atau diperuntukkan sesuai dengan aksi kejahatan yang dilakukan.

"Bagaimana mungkin undang-undang terorisme akan digunakan, misalnya terhadap pencurian," kata Muzani di kompleks DPR, Kamis (21/3).

Menurut politikus Gerindra tersebut, penegak hukum sudah semestinya memperlakukan undang-undang sesuai dengan kegunaannya saat disusun dan disahkan. Meski hoaks berpotensi ancaman, namun, kata dia, permasalahannya berbeda. Apalagi selama ini kasus hoaks telah ditangani dengan menggunakan UU ITE.

"Hoaks sebagai sebuah ancaman tidak ada yang tidak sepakat. Hoaks itu selama ini digunakan dengan Undang-Undang ITE jadi jangan merasa tidak mampu menanggulangi hoaks terus kemudian menggunakan undang-undang lain yang itu berpotensi kepada penyalahgunaan kekuasaan," ujar Muzani.


Senada, Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari menilai pernyataan Wiranto berlebihan terkait penindakan kasus hoaks.

Kharis menjelaskan penyebaran hoaks harus bisa dibedakan dengan terorisme. Menurut dia, jika hoaks dikategorikan menyebabkan keresahan maka bisa dijerat Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

"Harus bisa dibedakan antara hoaks dengan mengungkapkan pendapat, kalau yang sifatnya memang menyebar keresahan betul nanti biarkan UU ITE akan berbicara," kata politikus PKS itu.

Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Suhendra Ratu Prawiranegara, mengatakan hal serupa. "Terlalu lebay jika UU Terorisme diterapkan pada oknum-oknum yang diduga pembuat berita hoaks."

Sementara itu anggota DPR dari Fraksi Nasdem sekaligus Wakil Ketua TKN Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Johnny G Plate mengatakan pernyataan Wiranto itu sebagai peringatan bagi masyarakat agar berhati-hati dalam menyebarkan informasi.

Hal ini karena perbuatan yang bisa saja berasal dari ketidaksengajaan bisa berakibat terjerat undang-undang yang berat seperti Undang-Undang Terorisme.

"Pemerintah menyampaikan pada rakyat hati-hati karena ada undang-undang yang memungkinkan, yang mereka tidak saja kekhilafan biasa, tapi bisa dijerat dengan undang-undang yang cukup berat dampak hukumnya itu yang diingatkan oleh Pak Wiranto," ujarnya.

Sementara itu, Polri menegaskan dapat menjerat penyebar hoaks baik menggunakan UU Antiterorisme maupun UU ITE.

"Karena jika penyebar hoaks menciptakan ketakutan yang berlebih bisa masuk sebagai tindak pidana Terorisme," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo dalam keterangan tertulis, Kamis (21/3)


Dedi menuturkan, pelaku hoaks dalam UU Antiterorisme bisa dijerat terkait unsur ancaman kekerasan yang menimbulkan teror dan rasa takut. Selain itu, penyidik juga akan menyelidiki apakah pelaku masuk dalam jaringan terorisme tertentu.

Sedangkan yang kedua adalah pendekatan preventif yakni menerapkan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU ITE. Penerapan itu dilakukan terhadap pelaku yang tak masuk dalam jaringan tertentu dan unsur perbuatannya adalah menyebarkan hoaks.

(tst/kid)

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER