Jakarta, CNN Indonesia -- Mass Rapid Transit atau Moda Raya Terpadu (
MRT) sudah diresmikan Presiden Joko Widodo, Minggu (24/3) kemarin. Pun demikian dengan skema tarif bagi transportasi ini sudah disepakati bersama antara Pemprov DKI dan DPRD DKI Jakarta.
Tarif terendah MRT dikenakan sebesar Rp3.000. Sementara harga tertinggi adalah Rp14.000, yakni dari Stasiun Lebak Bulus-Bundaran Hotel Indonesia atau sebaliknya. Skema tarif ini juga memberlakukan biaya Rp1.000 untuk per kilometer. Artinya para penumpang mengeluarkan kocek yang berbeda, tergantung jarak ditempuh atau stasiun dituju.
Usai diresmikan, wahana transportasi di Ibu Kota ini akan segera dioperasionalkan secara komersil per 1 April mendatang. Tujuan pembangunan MRT adalah 'memindahkan' pengguna kendaraan pribadi ke transportasi umum. Harapannya tentu dapat menekan angka kemacetan yang sudah menjadi penyakit akut Ibu Kota.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski begitu, MRT masih diragukan bisa mengatasi kemacetan di Jakarta. Pengamat Transportasi Darmaningtyas mengatakan terlalu dini menyebut MRT bakal menekan angka kemacetan.
Dia mengungkapkan MRT hanya akan menjadi alternatif masyarakat untuk menggunakan transportasi yang lebih nyaman.
"Belum terlalu berdampak dengan kemacetan. Dia hanya akan bisa memberikan alternatif waktu tunggu, angkutan yang nyaman," kata Darmaningtyas saat dihubungi
CNNIndonesia.com, Rabu (27/3).
Terlebih, kata Darmaningtyas, rute yang dibuka baru satu jalur, yakni Lebak Bulus-Bundaran Senayan. Bisa saja, jalan di rute tersebut lebih lenggang, tapi tidak dengan daerah macet Jakarta lainnya.
"Karena satu rute lurus. Jakarta kan luas, yang Sudirman Thamrin bisa agak lancar, tapi jalan di luar itu, macet," ujar dia.
Darmaningtyas mengusulkan agar DKI lebih mengembangkan transportasi yang menjemput penumpang hingga ke rumah, seperti Jak Lingko dan TransJakarta. Dua transportasi ini dianggap lebih dekat dengan masyarakat ketimbang MRT yang berada di tengah kota.
"Segmentasinya kan orang yang dari kampung bawa motor bawa kendaraan pribadi ke daerah pusat. Makanya harusnya yang diperbanyak yang ke kampung-kampung," ujar dia.
Di sisi lain Darmaningtyas mengakui kehadiran MRT akan memberikan alternatif, khususnya bagi warga untuk menuju kawasan tertentu saja. Sementara kawasan padat penduduk bakal tetap memilih transportasi konvensional.
"Misalnya Tanah Abang-Grogol enggak mungkin naik MRT. Tanah Abang-Penjaringan juga dia masih akan menggunakan yang Jak Lingko itu tadi," ucap dia.
Dari keseluruhan, Darmaningtyas menggarisbawahi tujuan awal penggunaan MRT, yakni memindahkan pengguna kendaraan pribadi ke transportasi publik. Maka untuk mewujudkan tujuan itu harus ada kebijakan yang memperberat penggunaan kendaraan pribadi di jalur MRT, seperti penerapan Electronic Road Pricing (ERP), untuk memaksa mereka beralih ke MRT.
"Jadi ada kebijakan yang dibarengi yang memaksa agar masyarakat bisa naik MRT ketimbang mobil pribadi," tutur dia.
 Sejumlah warga mencoba MRT. (CNN Indonesia/Safir Makki). |
Butuh WaktuSenanda, Pengamat Tata Kota Nirwono Joga menyatakan penerapan MRT tidak serta merta langsung menurunkan angka kemacetan. Bakal ada jangka waktu setidaknya satu tahun untuk mengidentifikasi apakah MRT berdampak terhadap kemacetan atau tidak.
"Kita belum bisa mendapatkan gambaran nyata sampai minggu ini. Terlalu dini untuk mengungkapkan hal tersebut," kata Nirwono kepada
CNNIndonesia.com.
Nirwono menyebut nantinya bakal ada identifikssi penumpang terlebih dahulu yang bisa diarahkan untuk melihat data penekanan macet Ibu Kota. Ke depan juga akan diidentifikasi terlebih dahulu latar belakang warga yang memilih MRT sebagai moda transportasi.
"Siapa yang menggunakan MRT, apakah itu pekerja, atau rumah tangga, mahasiswa atau bukan nanti dilihat segementasinya akan jelas," kata dia.
Dari segi animo, Nirwono menyebut ada sejumlah titik stasiun MRT yang masih sepi. Beberapa di antaranya Stasiun H Nawi dan Stasiun ASEAN. Dua stasiun ini dianggap oleh Nirwono sepi dari pusat keramaian, mengingat masyarakat harus butuh usaha lebih mencapai stasiun tersebut.
"Stasiun Fatmawati juga tidak terhubung dengan apa-apa (integrasi transportasi lain). Kalau mau naik ada sambungan transportasi yang saya hitung harus jalan kaki 15-20 menit dari stasiun Fatmawati," tutur dia.
Terakhir, dia juga mendorong pemerintah untuk membuat
park and ride agar masyarakat bisa lebih nyaman menggunakan MRT. Dia pun meminta pemerintah mengevaluasi Rencana Detil Tata Ruang (RDTR) yang bisa disambungkan dengan MRT.
"Harus dibangun
park and ride di sekitaran stasiun untuk visa jadi pemicu. Juga dievaluasi lagi bagaimana RDTR-nya agar pas dengan pusat komersil. Ini yang perlu dipertimbangkan," kata dia.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sempat mengatakan kerugian yang ditimbulkan akibat kemacetan di Jabodetabek mencapai Rp100 triliun per tahun. Saat itu, Anies mengaku tahu data itu dari Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Hal ini diucapkan setelah menghadiri pembukaan rapat terbatas tentang tata kelola transportasi di Jabodetabek.
"Angka kami juga angkanya sama, yaitu Rp 100 triliun, bukan Rp 65 triliun lagi, besar (kerugian macet per tahun)," ujar Anies di Balai Kota DKI Jakarta, Jalan Medan Merdeka Selatan, Rabu (9/1) yang lalu.
(ctr/osc)