Gerakan ini juga ditunggangi Central Intelligence Agency (CIA) untuk menangkal pengaruh komunisme di Indonesia. Dengan kata lain, bukan didasari oleh fanatisme agama.
Mulanya pada 21-24 November 1956, diselenggarakan suatu reuni para mantan prajurit Divisi Banteng di Padang, Sumatera Barat. Letkol Ahmad Husein menjadi ketua panitia acara.
Divisi Banteng memiliki peran penting dalam perang mempertahankan kemerdekaan di Sumatera Tengah. Leirissa, dalam bukunya berjudul
(1991) menyebut reuni itu merumuskan sejumlah hal.
Di antara rumusan itu adalah perbaikan radikal terhadap masalah kepemimpinan negara serta pemberian otonomi seluas-luasnya bagi Pemerintah Daerah Sumatera Tengah. Kecenderungan sentralistik dalam birokrasi juga harus dihapus, agar pembangunan dapat berjalan merata.
Usai reuni, Letkol Ahmad Husein lantas membentuk Dewan Banteng bersama 16 orang perwira dan eks Divisi Banteng lainnya. Itu dilakukan untuk merealisasikan poin-poin hasil reuni eks Divisi Banteng.
Awal Desember 1956, giliran Dewan Gajah dibentuk di Sumatera Utara. Kolonel Maludin Simbolon tokoh penggeraknya. Letkol Barlian juga mendirikan Dewan Garuda di Sumatera Selatan.
Situasi tanah air pada akhir tahun 1956 jadi mencekam. Pimpinan Dewan Banteng, Letkol Ahmad Husein merebut posisi Gubernur Sumatera Tengah Ruslan Mulyoharjo karena dianggap tak becus membangun. Itu terjadi pada 20 Desember.
Dua hari kemudian, yakni 22 Desember, pimpinan Dewan Gajah Maludin Simbolon melepaskan hubungan dari Pemerintah Pusat untuk sementara.
Dewan Gajah, tutur Simbolon melalui RRI Medan, tidak lagi mengakui kabinet Ali Sastroamidjojo II yang sedang menjabat. Dewan Gajah juga mengambil alih pemerintahan di Sumatera Utara.
Pemerintah pusat di Jakarta berupaya menempuh jalan damai dengan Dewan-Dewan di Sumatera. Namun, tak pernah berhasil.
John Roosa, dalam
Dalih Pembunuhan Massal (2008), mengatakan bahwa Simbolon cs mendapat bantuan dari Amerika Serikat (AS) dalam menjalankan aksinya. Bagi AS, Simbolon cs dapat ditunggangi demi mengisolasi Jawa.
"CIA memberikan uang muka sebesar $50 ribu kepada Kolonel Simbolon pada awal Oktober 1957 dan mulai mengirim senjata pada bulan berikutnya," tulis Roosa.
Simbolon cs tidak kunjung mau mengakui pemerintah pusat. Solusi damai tak tercapai. Hingga kemudian, rapat besar di Padang pada 10 Februari 1958 menghasilkan sejumlah tuntutan kepada pemerintah pusat.
Simbolon cs meminta Kabinet Djuanda menyerahkan mandatnya kepada presiden maksimal lima hari ke depan. Mereka juga meminta agar Sukarno memberikan mandat kepada Mohammad Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk
zaken kabinet.
Tuntutan ditolak. Simbolon cs merespons dengan mengumumkan berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang. Syafruddin Prawiranegara ditunjuk sebagai perdana menteri.
Pemerintah pusat semakin gusar, khususnya Presiden Sukarno. Jalan militer menjadi pilihan. Pasukan dari Kodam Siliwangi dan Kodam Diponegoro pimpinan Ahmad Yani dikirim pada awal Maret untuk menumpas Simbolon cs di seantero Sumatera. Pemberontakan baru beres ditumpas pada 4 Mei 1958.
Gerakan Aceh Merdeka (GAM)Hasan Tiro memperkenalkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada Desember 1976 di Perbukitan Halimon, Pidie.
Momen itu dilakukan bersama kelompoknya usai menyerang pabrik tambang pengolahan gas alam cair di Arun. Gaung GAM terdengar hingga ke Jakarta.
Hasan Tiro sendiri meneruskan perjuangan Daud Beureuh yang lebih dulu memberontak. Pada Desember 1953, Daud menyatakan bahwa kelompoknya terafiliasi dengan DI/TII Kartosuwiryo di Jawa Barat.
Sepak terjang Daud dan kawan-kawan baru bisa dipadamkan pemerintah pusat pada 1962 melalui musyawarah. Namun, gerakan mereka tidak sepenuhnya punah. Hasan Tiro mengonsolidasikan kekuatan kembali medio 1970-an.
Perbedaan antara Daud Beureuh dan Hasan Tiro terletak pada narasi untuk merekrut massa.
Daud cenderung memainkan isu ketimpangan dari hasil pengelolaan tambang di Aceh. Tiro selalu mengutarakan bahwa eksploitasi, khususnya gas alam cair, tidak dinikmati secara maksimal oleh warga lokal.
 Tentara Gerakan Aceh Merdeka. (Foto: AFP PHOTO/ POOL) |
Menurut Michael L. Ross dalam R
esources and Rebellion in Aceh, Tiro cemas tidak mendapat dukungan dari dunia internasional jika isu negara Islam yang dikampanyekan. Karenanya, dia memilih narasi tentang pengelolaan sumber daya alam yang tidak adil.
Aksi Tiro tidak diabaikan pemerintah. Perlawanan mereka terus digerus oleh tentara. Menjelang 1980, banyak anggota GAM tewas, dipenjara dan melarikan diri. Tiro juga pergi ke luar negeri bersama tokoh lainnya.
Kirsten E. Schuhlze dalam
The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Sepatarist Organization (2004) menyebut banyak anggota GAM mendapat pelatihan militer di Libya.
Peran Libya membuat GAM kembali solid dan kuat. Manuver GAM tidak pernah bisa dipadamkan hingga 1990-an. Pemerintah menurunkan lebih banyak tentara ke Aceh saat Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai presiden.
Meski memakan waktu yang sangat panjang, namun pemberontakan GAM berhasil diredam lewat perundingan. Pada 27 Februari 2005, perwakilan pemerintah dan GAM mulai menjajaki perundingan di Vantaa, Finlandia.
Kesepakatan damai pun tercipta dengan beberapa syarat. Salah satunya adalah Aceh boleh memiliki partai lokal dan mantan anggota GAM diberikan amnesti.